skip to Main Content

3 Hal Penting yang Saya Pelajari di Harvard tentang Cara Membangun Bisnis

  • life


Ikhtisar

  • Ada tiga hal penting yang saya pelajari selama menempuh pendidikan di Harvard, yaitu pentingnya memiliki beberapa perspektif, menyatukan semua bagian kecil menjadi strategi yang besar, dan menemukan kriteria pengambilan keputusan yang tepat.

Belajar di Harvard Business School (HBS) merupakan mimpi saya sejak kecil.  Saya beruntung bisa bertemu dengan Reynold Wijaya ketika masuk ke universitas tersebut pada bulan Juli 2014. Kami kemudian mendirikan Funding Societies (di Indonesia dikenal dengan nama Modalku).

Pada bulan Desember 2015, setelah beberapa kali melakukan diskusi, Sequoia India dengan santai bertanya apakah kami bersedia meninggalkan Harvard dan menjalankan startup ini secara full time. Kami menjawab tidak.

Keputusan tersebut bukan hanya karena faktor keluarga, namun juga karena kami yakin bahwa pengalaman di Harvard bisa membantu menjalankan bisnis. Berikut ini adalah contoh pelajaran berharga yang kami dapatkan.


Tidak ada kebenaran mutlak

Pilihan Bisnis | Ilustrasi

Sumber gambar: Pexels

Metode pengajaran yang sangat terkenal di Harvard adalah studi kasus. Kami biasanya akan diminta untuk membaca dokumen sekitar dua puluh halaman yang berisi masalah di dunia nyata. Kami kemudian mendiskusikan solusi yang mungkin dilakukan.

Cara ini bisa memicu stres, karena partisipasi kami selama diskusi akan dinilai. Harvard bahkan mempekerjakan seorang juru tulis untuk mencatat presensi dan komentar-komentar peserta diskusi. Mereka lalu memberikan nilai dari sisi kuantitas dan kualitas. Pada akhirnya, tidak ada yang ingin mengajukan komentar naif di kelas dengan siswa-siswa terbaik.

Menurut saya, membaca dokumen berisi kasus yang Harvard berikan benar-benar menyita waktu. Namun setidaknya saya berhasil menemukan cara mudah untuk mendapat nilai baik, yaitu dengan menjadi pihak oposisi.

Mengapa? Karena sepintar apa pun seorang siswa, komentar mereka sering kali hanya mengupas satu sisi. Ini berarti opini mereka bisa jadi benar, tapi tidak lengkap.

Tren serupa pun saya temukan di bisnis startup, di mana seorang “superstar” yang terlalu percaya diri dan mempunyai pandangan kuat mungkin saja melewatkan beberapa hal penting.

Saran untuk para founder startup: Aktiflah mencari argumen dari dua sisi. Jangan mencoba meyakinkan orang lain dengan mengulangi argumen yang sama. Coba temukan solusi yang bisa kamu ciptakan bersama.

Dalam sebuah perusahaan pembiayaan UKM seperti Modalku, mempunyai pandangan yang berimbang merupakan sesuatu yang penting. Ketika ada seorang nasabah yang ditolak, tim penjualan (sales) mungkin akan mengatakan tim pemeriksaan kredit bekerja terlalu ketat. Di sisi lain, tim pemeriksaan kredit mungkin akan menyatakan nasabah tersebut memang terlalu berisiko. Hal seperti ini sangat lazim terjadi antara tim yang saling berhubungan.

Solusi dari masalah tersebut terkadang bukan ya atau tidak, tapi mengapa dan bagaimana. Dengan memahami berbagai perspektif bisa menumbuhkan empati dan membantu tim menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.


Strategi besar adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil

Benihana Teppanyaki

Beinhana Teppanyaki, salah satu studi kasus di Harvard (Sumber gambar: Mahiblog)

Salah satu kasus klasik yang dibahas di Harvard adalah Benihana, sebuah jaringan restoran Teppanyaki sukses di Amerika Serikat. Kasus tersebut menyoroti sistem desain yang perusahaan tersebut terapkan dan bagaimana mereka mengatasi berbagai tantangan, seperti:

  • Masyarakat Amerika Serikat tidak percaya dengan masakan Asia? Mereka pun menempatkan koki di hadapan pelanggan.
  • Ingin menambah pelanggan? Mereka meminta sang koki untuk mempertunjukkan keahliannya.
  • Tidak ada koki lokal berkualitas? Mereka merekrut koki dari luar negeri.
  • Memiliki tempat terbatas? Mereka membuat dapur dengan bentuk yang unik.

Kebanyakan founder berpikir tentang strategi bisnis seperti “saya harus melakukan A” atau “saya harus mendapatkan sumber daya strategis B”. Bagi saya, hal seperti itu memang dibutuhkan, namun tidak cukup.

Kita perlu menyatukan semua bagian strategi menjadi satu. Karena di zaman sekarang, tidak banyak kemampuan atau sumber daya strategis yang bisa diakses oleh startup.

Saran untuk para founder startup: Jangan mentah-mentah meniru startup dari Amerika Serikat, Eropa, atau Cina. Pikirkan ulang model bisnis kamu mulai dari nol.

Sebagai contoh, kebanyakan startup pembiayaan UKM di Amerika Serikat dan Eropa berkembang dengan memberikan pinjaman pada para penjual online di e-commerce. Pada awalnya kami berpikir hal serupa juga akan sukses di Asia Tenggara. Karena itu, kami pun menargetkan untuk bisa menggaet para penjual online pada tahun 2016.

Sayangnya, strategi tersebut tidak memberikan hasil memuaskan. Secara garis besar kegagalan kami terjadi karena dua hal. Pertama, para pedagang online di wilayah ini tidak membutuhkan pinjaman karena mereka menjadikan jualan sebagai hobi. Kedua, mereka tidak memiliki banyak riwayat transaksi sehingga berisiko untuk kami beri pinjaman.

Saat itu kami masih berupa startup tahap awal. Ketika kami merombak ulang model bisnis, barulah layanan perusahaan bisa berkembang.


Tentukan kriteria pengambilan keputusan yang baik

Pengambilan Keputusan | Ilustrasi

Sumber gambar: Pexels

Pelajaran di Harvard yang sangat membantu kami adalah materi tentang negosiasi. Pelajaran tersebut juga mencakup konsep dasar seperti Best Alternative to a Negotiated Agreement (BATNA) dan Zone of Possible Agreement (ZOPA).

Namun yang lebih penting lagi, mereka juga mendorong kami mendalami kasus genting. Salah satunya adalah kasus dialog yang John F. Kennedy lakukan setelah tragedi pesawat luar angkasa Challenger.

Nyatanya, orang-orang pintar sekalipun bisa membuat keputusan yang buruk bila ia tidak hati-hati. Menentukan cara mengambil keputusan sama pentingnya dengan keputusan itu sendiri.

Saran untuk para founder startup: Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Tentukan terlebih dahulu kriteria-kriteria awal yang akan kamu gunakan untuk mengambil keputusan.

Contoh yang jelas adalah di bidang sumber daya manusia (HR). Kita bisa dengan mudah merekrut orang yang salah hanya karena menyukai kandidat tersebut, bukan karena sang kandidat memenuhi kriteria yang dibutuhkan perusahaan. Mempunyai kriteria pengambilan keputusan yang kuat dan baik bisa mencegah kamu dari membuat keputusan yang buruk.

Menariknya, salah satu komentar yang saya terima dari tim adalah saya sangat konsisten. Hal ini justru menumbuhkan rasa percaya mereka terhadap saya. Mereka bahkan memberi tahu saya ketika ada headhunter yang mengajak mereka pindah ke perusahaan lain. Kondisi ini membuat kami bisa mempertahankan talenta-talenta terbaik, serta mengetahui kondisi di perusahaan lain.

Harvard memberikan pengalaman mahal yang mengubah hidup saya. Namun terlepas dari faktor pendidikan atau pengalaman, kuncinya adalah menemukan cara menjadi lebih pintar (atau bahkan lebih bijaksana). Pendidikan formal hanya salah satu cara untuk menuju hal tersebut.

Saran-saran di atas adalah pendapat pribadi saya. Silahkan pilih, renungkan, dan lakukan hal-hal yang baik. Nyatanya masih banyak hal-hal berharga lain yang harus saya pelajari setelah lulus dari Harvard.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam Bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Aditya Hadi Pratama sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Fairuz Rana Ulfah dan Septa Mellina)

This post 3 Hal Penting yang Saya Pelajari di Harvard tentang Cara Membangun Bisnis appeared first on Tech in Asia.

The post 3 Hal Penting yang Saya Pelajari di Harvard tentang Cara Membangun Bisnis appeared first on Tech in Asia Indonesia.

Source: Entrepreneur Life

Back To Top