skip to Main Content

Malam Minggu Bersama Rascho (Rascacielos Choir)

Malam minggu adalah malam yang sakral! Ah, seringkali malam minggu diasosiasikan dengan hubungan asmara antar-sepasang kekasih. Pada malam minggu (21/10), Unit Kegiatan Mahasiswa Rascacielos Choir (Rascho) Universitas Al-Azhar mementaskan sebuah pertunjukan paduan suara di Goethe Institut Jakarta. Pertunjukan yang bertajuk Love Through The Decades ini menampilkan 14 lagu: Amigos Para Siempre, Beauty and The Beast, If I Fell, Baby It’s Cold Outside, More, Untukku, A Time for Us, I’ll Be There, If, Sempurna, Kasih Tak Sampai, Sampek Engtay, Seasons of Love, Don’t Stop Believin’; dengan Dessy Sophianty sebagai Conductor.

Anggaplah 14 lagu ini semacam tanda cinta bagi Rascho kepada kekasihnya. Konon, tanda cinta ini telah dipersiapkan selama satu tahun! Bayangkan, di zaman yang sudah serba cepat dan instan ini, Rascho mampu bersabar demi mempersembahkan tanda cinta terbaik kepada kekasihnya. Sabtu ini (21/10), Rascho ada janji dengan kekasihnya pada pukul empat sore dan setengah delapan malam. Saya, sebagai penyusup yang telah masuk lebih dulu, menyaksikan betul betapa gelisahnya Rascho mempersiapkan segalanya demi bertemu sang kekasih! Tentu saja kalian pernah merasakan bagaimana dag-dig-dug-nya menemui kekasih yang benar-benar dicintai bukan? Nah! Seperti itu! Persis!

Abdul Aziz Wahyudi sebagai stage director memimpin segala persiapan pentas. Mulai dari penempatan blocking pemusik, penyesuaian lighting, hingga pola lantai koreografi yang telah dilatihkan. Di sini rasa-rasanya saya ingin bertanya: apakah kelompok paduan suara memerlukan tari-tarian semacam itu? Bukankah paduan suara hanya terfokus pada suara saja? Pertanyaan saya ini berangkat dari pengalaman pribadi saya dalam menonton sebuah konser paduan suara. Namun, saya sadar, siapapun tak akan sempat untuk melakukan interupsi, karena para kekasih telah menunggu di luar!

Pukul empat kurang beberapa menit, para kekasih pun masuk, duduk dan bersiap. Wajahnya merah merona. Mereka terlihat bergembira karena sebentar lagi akan bertemu dengan Rascho. Ketika itu, panggung gelap, hanya tempat duduk penonton yang diberi cahaya untuk mempermudah sirkulasi. Saat para kekasih telah siap, dengan sangat perlahan, lampu penonton padam diikuti dengan zoom spot yang mulai menerangi dengan efek bundar persis di tengah panggung. MC telah siap di tengah temaram cahaya, pertemuan antar-dua gerombol kekasihpun terjadi. Aw!

*

Persembahan terbaik diberikan Rascho. Setiap lagu dinyanyikan dengan baik. Koreografi yang dibuat Rascho pun dapat memanjakan mata. Begitupun dengan pengaturan blocking, permainan musik dan pencahayaan. Meskipun masih ada beberapa gerakan yang terlihat kaku, kurang enjoy seperti robot, serta beberapa hal teknis lain. Namun saya paham, ternyata Rascho bukan hanya ingin menampilkan suara vokal (audio) di atas panggung. Tapi, Rascho juga ingin menyuguhkan seni pertunjukan yang utuh. Yakni terdapat unsur audio, visual serta kinestetik yang lengkap dan memang dipersiapkan.

Saya bukan hanya ‘menonton suara’ dengan telinga yang saya bawa dari rumah. Tapi betul-betul menonton seluruh aspek seni pertunjukan dengan kehadiran jiwa dan raga saya sebagai penonton. Telinga saya tetap dimanjakan oleh merdunya lagu; mata dimanjakan dengan koreografi, kostum dan pencahayaan; serta sukma coba disentuh dengan kedalaman dalam menghayati setiap lagu.

Sebuah seni pertunjukan, seyogianya memang harus seperti itu. Ada pertemuan langsung antara karya seni pertunjukan dan penontonnya; tidak dapat diwakili/digantikan oleh teknologi secanggih apapun. Jika musik (paduan suara) hanya dipandang dalam perspektif seni-audio, maka penonton tidak perlu hadir untuk menyaksikannya. Cukup direkam dalam format audio terbaik zaman now, lalu dikirim ke kontak WhatsApp semua penonton! Beres!

Ini adalah kali pertama saya menonton konser paduan suara dalam format seni pertunjukan yang utuh. Biasanya, penonton memang hadir dan menyaksikan langsung konser paduan suara. Tapi, si rombongan pentas tidak menyiapkan paduan suara tersebut dalam perspektif seni pertunjukan, namun hanya sebagai seni-audio saja. Boleh-boleh saja. Artinya, sebetulnya penonton tidak perlu menggunakan indranya selengkap ketika ia menonton seni pertunjukan. Dalam mengapresiasi seni-audio, penonton hanya butuh telinga. Pejamkan mata… dengar… nikmati suaranya… Sstt… Awas, jangan sampai bobok!

*

Tanda cinta dari Rascho kepada gerombolan orang yang dicintainya pun telah mampu diungkapkan dengan setulus hati. Semua berbahagia… Hmmmm…

Semoga saja, Rascho adalah tipe setia yang tidak akan berkhianat ke lain hati, serta terus mau belajar dan bertumbuhkembang. Aamiin,

Penonton Paling Belakang
AbbieKoes

Source: Berita Kampus

Back To Top