Bila Uber dan Grab Bersatu, Apa Pengaruhnya bagi Konsumen dan Mitra Pengemudi?
Selama beberapa minggu terakhir, beberapa media seperti CNBC telah melaporkan bahwa layanan transportasi online Uber mungkin akan menjual bisnis mereka di Asia Tenggara kepada sang pesaing, Grab. Sebagai gantinya, Uber akan mendapat sebagian saham dari Grab.
“Perdamaian” ini akan menghentikan persaingan ketat yang terjadi antara mereka, dan membuat Grab menjadi satu-satunya layanan transportasi online yang menguasai Asia Tenggara. Mereka hanya tinggal bersaing dengan GO-JEK, yang sejauh ini hanya beroperasi di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah langkah Uber ini merupakan sesuatu yang baik bagi mereka? Apa pengaruhnya kepada konsumen? Dan bila transaksi ini tidak terjadi, mungkinkah keduanya tetap bisa mendapat keuntungan?
Uber masih ingin terus bertahan
Pada tahun 2016, Uber akhirnya memutuskan untuk menjual operasional mereka di Cina kepada sang kompetitor, Didi Chuxing. Setahun kemudian, giliran operasional Uber di Rusia yang berpindah tangan kepada pemain transportasi online besar di sana, yaitu Yandex. Langkah ini mereka ambil karena posisi mereka yang telah jauh tertinggal dari para pemain lokal tersebut.
Berdasarkan dua kejadian itu, tak heran kalau Uber nantinya akan melakukan hal serupa di Asia Tenggara. Sang CEO Dara Khosrowshahi sendiri menyatakan bahwa bisnis mereka di wilayah ini “tidak akan menguntungkan dalam waktu dekat.”
Dengan menjual operasional mereka kepada Grab, Uber bisa lebih fokus pada bisnis mereka di Amerika Serikat, Eropa, dan di negara-negara lain di mana mereka merupakan pemimpin pasar. Mereka pun bisa tetap mendapat keuntungan dari pasar yang mereka tinggalkan, berkat kepemilikan sebagian saham dari perusahaan yang mengakuisisi mereka.
Sebaliknya bagi Grab, hal ini bisa mengurangi tekanan bagi mereka, sehingga mereka tidak perlu terlalu banyak memberikan subsidi kepada pengguna.
Kemungkinan bersatunya Uber dan Grab di Asia Tenggara diperkuat oleh ambisi Uber untuk masuk bursa saham dalam waktu beberapa tahun ke depan. Untuk melakukan itu, Uber harus memperbaiki neraca keuangan mereka yang kini masih merugi, dan menunjukkan bahwa mereka bisa mendapatkan keuntungan. Hal ini tentu sulit mereka lakukan apabila mereka terus mempertahankan bisnis di wilayah seperti Asia Tenggara yang justru menambah beban pengeluaran.
Uber sendiri baru saja mendapat pendanaan dari SoftBank, yang juga merupakan investor dari Grab. Demi memaksimalkan keuntungan, tidak mustahil apabila SoftBank nantinya turut mendorong penggabungan kekuatan dari dua layanan yang telah mendapat investasi dari mereka.
Meski begitu, CEO Uber Dara Khosrowshahi juga sempat menyatakan bahwa Uber tidak akan pergi dari Asia Tenggara dalam waktu dekat. Mereka bahkan baru saja meluncurkan layanan di Myanmar dan Kamboja pada tahun 2017 lalu.
Uber seperti berniat untuk terus “berperang”, meski hal itu akan memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.
Bila bersatu, akankah Uber dan Grab tetap memberikan subsidi?
Apabila penyatuan Grab dan Uber di Asia Tenggara jadi terlaksana, maka Grab akan memonopoli wilayah ini. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya buruk.
Semua pesanan nantinya akan melewati satu operator yang bisa menyeimbangkan penawaran dengan permintaan. Hal ini membuat layanan ini menjadi lebih efektif.
Meski begitu, Krauss juga menyoroti kemungkinan sang penguasa pasar nantinya akan memanfaatkan hal ini, dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Artinya, subsidi seperti diskon untuk pengguna dan insentif untuk pengemudi, bisa saja diturunkan.
Hal ini bahkan bisa diperparah dengan mekanisme penentuan harga yang bisa mengalami kenaikan di jam sibuk (surge pricing). Masyarakat bisa diharuskan untuk membayar biaya sangat tinggi, dan mereka tidak mempunyai alternatif lain.
Dalam struktur pasar yang mengalami kondisi monopoli, perlu adanya transparansi terkait perubahan harga dan cara perhitungannya.
Fenomena tersebut telah terjadi di Cina, setelah Didi Chuxing mengakuisisi operasional Uber di sana. South China Morning Post melaporkan pada bulan Desember 2016, bahwa penumpang Didi mulai dikenakan harga yang lebih mahal, dan pengemudi Didi Chuxing pun mendapat insentif yang lebih sedikit.
Di sisi lain, hal ini pun menjadi peluang yang memungkinkan tumbuhnya startup lain, yang bisa menawarkan layanan serupa dengan harga yang lebih terjangkau.
Bisakah Uber dan Grab mendapat untung bila tetap beroperasional seperti biasa?
Baik Uber dan Grab memang sama-sama menolak untuk mengomentari kabar tersebut. Juru bicara Uber menyebut kabar ini sebagai spekulasi.
Namun menurut ahli ekonomi transportasi dari Singapore University of Social Sciences, Walter Theseira, penyatuan kekuatan kedua perusahaan tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan ujarnya seperti dikutip dari The Straits Times.
Apabila kedua perusahaan tersebut terus berbagi pasar dan bersaing dengan pemberian diskon, mereka tidak akan untung.
Berbeda dengan Theseira, Krauss justru berpendapat bahwa bisnis transportasi online tidak perlu dikuasai oleh satu perusahaan. Uber dan Grab bisa berbagi pangsa pasar, dan mendapat keuntungan bersama-sama.
“Katakanlah kedua perusahaan tersebut masing-masing mempunyai pangsa pasar sebesar lima puluh persen. Dan mereka berdua memahami bahwa ini adalah akhir dari persaingan. Apa yang akan terjadi selanjutnya adalah kedua perusahaan tersebut akan mengurangi subsidi, dan menaikkan harga bersama-sama, sehingga pangsa pasar mereka tidak akan terlalu berubah,” jelas Krauss.
Ia pun mencontohkan apa yang terjadi di bisnis telekomunikasi. Biasanya, akan ada dua atau tiga operator telekomunikasi besar, dengan promosi dan harga layanan yang tidak terlalu jauh berbeda. Mereka tetap bisa bersaing untuk memperebutkan beberapa persen pangsa pasar, tapi secara umum mereka memahami bahwa setiap pemain telah mendapat “jatah” mereka masing-masing.
Belum dapat dipastikan kapan bisnis transportasi online akan sampai di titik keseimbangan tersebut. Kini semuanya tergantung pada investor dan petinggi dari Uber dan Grab, apakah mereka akan terus berperang dalam waktu yang lama, atau justru menyatukan kekuatan demi menghadapi pemain besar seperti GO-JEK.
(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto)
This post Bila Uber dan Grab Bersatu, Apa Pengaruhnya bagi Konsumen dan Mitra Pengemudi? appeared first on Tech in Asia.
The post Bila Uber dan Grab Bersatu, Apa Pengaruhnya bagi Konsumen dan Mitra Pengemudi? appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Inspirasi