[Opini] Mengapa Saya Meninggalkan Bidang Desain UI demi Mempelajari UX?
Di pekerjaan sebelumnya, saya merupakan seorang Digital Art Director terlatih dalam bidang komunikasi visual. Namun setelah menyelesaikan kursus di bidang desain UX, saya memutuskan untuk meninggalkan bidang desain UI (User Interface). Saya kemudian memilih desain UX (User Experience) sebagai karier selanjutnya.
Rekan saya ketika menjalani kursus dan perusahaan yang setelah itu mewawancarai saya terheran-heran akan pilihan tersebut. Mereka penasaran mengapa saya rela meninggalkan bidang desain grafis (UI) yang telah saya tekuni selama bertahun-tahun, demi menjadi seorang desainer UX junior. Akankah saya akan menyesal dengan keputusan tersebut setelah beberapa minggu atau bulan?
Saya tetap optimis, inilah alasan-alasannya.
1. Soft Skill vs Keahlian Teknis
Hei, lihatlah tool/plugin desain baru milik Perusahaan A ini!
Sebagai seorang desainer UI, kami berusaha mengikuti perkembangan tool atau software baru. Misalnya kami mencoba menggunakan InVision Studio serta fitur baru untuk membuat prototipe dari Sketch.
Seiring berjalannya waktu, ada makin banyak software menjual produk mereka dengan cara mengenakan biaya berlangganan bulanan, bukan lewat satu kali pembayaran. Proses ini membuat mereka bisa memperbarui software dengan mudah. Di sisi lain, desainer UI pun dituntut untuk terus memperbarui kemampuan secara terus-menerus.
Sebaliknya, kemampuan desain UX justru bisa bertahan dalam periode lama. Mengasah Soft skill dengan melakukan riset pengguna serta kolaborasi dengan tim lain, merupakan kemampuan yang bisa terus berguna di kemudian hari.
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan World Economic Forum, lima juta pekerjaan akan hilang sebelum tahun 2020 karena kehadiran teknologi kecerdasan buatan, robotik, dan automasi. Untuk bisa bertahan, kamu harus memiliki berbagai kemampuan penting, seperti kecerdasan emosi, adaptif, dan keinginan untuk terus belajar.
Pekerjaan sebagai desainer UI mungkin akan mengembangkan soft skill terkait kreativitas, namun saya percaya desain UX bisa melatih kemampuan kamu secara lebih menyeluruh.
2. Kebutuhan pengguna vs estetika
Situasi sulit mendorong terciptanya solusi cerdik
Peribahasa di atas menjelaskan bagaimana faktor utama pendorong terciptanya penemuan baru adalah kebutuhan. Dan pernyataan tersebut masih sangat relevan hingga saat ini.
Daripada mengetahui warna atau jenis huruf apa yang klien saya suka, atau istri, sepupu, keponakan, hingga tetangga mereka gemari, saya lebih termotivasi untuk menunjukkan data kualitatif dan kuantitatif untuk mendukung keputusan desain.
3. Perkembangan karier yang lebih baik
Desain UX menjadi topik hangat saat ini. Setiap perusahaan, mulai dari perusahaan multinasional hingga startup baru, merekrut desainer UX. Karena bidang ini masih relatif baru, kesempatan pun terbuka lebar bagi para desainer untuk beralih ke desain UX.
Tidak seperti pekerjaan desain UI yang mendorong kamu “bersembunyi” di balik meja kerja, desain UX mengharuskan kamu untuk meninggalkan meja kerja yang nyaman untuk melakukan kolaborasi dan komunikasi. Aktivitas tersebut bisa membuat kamu dilihat oleh banyak orang di dalam perusahaan.
Bagi seseorang dengan ambisi karier, desain UX mungkin bisa menjadi jalur yang lebih menjanjikan dibanding desain UI.
4. Butuh lebih sumber daya untuk berlatih UX
Penelitian membutuhkan waktu dan uang
Meyakinkan klien untuk melakukan riset merupakan sesuatu yang sulit, karena efeknya terlihat kurang nyata. Sebagai contoh, untuk mengadakan riset pengguna, kamu perlu menyediakan uang, hadiah, dan makanan sebagai ganti dari waktu yang mereka luangkan.
Sebaliknya, desain UI hanya membutuhkan sebuah software versi terbaru. Hal ini juga berlaku ketika kamu melakukan penelitian secara paruh waktu atau untuk proyek pribadi, lebih mudah mengerjakan desain UI dibandingkan UX.
5. Desain UX tidak terbatas pada sebuah hasil dalam bentuk digital
Di dunia desain UI, kamu hanya akan menghasilkan sebuah produk desain dalam bentuk digital. Namun desain UX tidak seperti itu. Hasil dari desain UX bisa berbentuk layanan atau proses, sehingga cakupan kerja seorang desainer UX lebih besar.
Contohnya adalah perangkat yang bisa merespon suara, seperti Amazon Echo dan Google Home, tentu tidak membutuhkan desainer UI. Namun perangkat seperti itu membutuhkan desainer UX.
Namun tentu saja, apabila berbicara tentang produk digital, hasil karya desain UI dan UX sering kali tidak bisa dipisahkan.
6. Sekali mempelajari desain UX, kamu tidak akan bisa berhenti
Belajar tentang UX membuat saya sadar tentang kepuasan ketika menggunakan produk dengan desain yang baik. Saya kini sangat terganggu ketika diminta mengisi sebuah formulir yang rumit, atau menemukan tombol di tempat tidak semestinya.
Setelah transisi yang sulit dari seorang desainer grafis (UI) menjadi seorang desainer UX selama sebelas bulan, saya akhirnya memulai karier baru. Saya bertaruh untuk berkarier di bidang desain UX, dan semoga ini merupakan keputusan yang benar.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam Bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Aditya Hadi Pratama sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Fairuz Rana Ulfah)
This post [Opini] Mengapa Saya Meninggalkan Bidang Desain UI demi Mempelajari UX? appeared first on Tech in Asia.
The post [Opini] Mengapa Saya Meninggalkan Bidang Desain UI demi Mempelajari UX? appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Entrepreneur Life