Gagal Bangun 2 Startup, Founder Ini Ceritakan Pelajaran Berharga yang Ia Petik
Ikhtisar
- Bila ide kamu belum ada yang menjalankan, kemungkinannya hanya dua: memang sudah ada yang membuatnya dan gagal, atau sudah ada yang pernah membuktikan bahwa ide bisnis tersebut memang tidak bisa diterima pasar atau menghasilkan uang.
- Mengeksekusikan idemu dan tetap menjaga fokus lebih penting ketimbang memiliki ide itu sendiri.
Seperti layaknya lulusan IT yang lain, Mujiyanto mempunyai banyak sekali ide yang kemudian ia tuangkan menjadi berbagai produk dan aplikasi. Pria yang mengenyam pendidikan di jurusan Teknik Informatika Amikom Yogyakarta ini lalu membawa berbagai produk yang ia buat ke beberapa kompetisi, seperti Indonesia Information and Communication Technology Award (INAICTA), Solusi Desa Broadband Terpadu, hingga BNI Hackfest.
Selepas kuliah, ia pun bekerja di berbagai perusahaan teknologi, yang membawa dirinya kemudian beberapa kali mengerjakan proyek dari lembaga pemerintah. Itulah mengapa ketika tren startup muncul beberapa tahun lalu, ia pun langsung tertarik untuk berkecimpung di dalamnya.
Sejak tahun 2012, ia telah mulai mendirikan startup pertamanya yang bernama Barter Indonesia, meski akhirnya gagal. Tidak putus asa, ia pun kembali mencoba mendirikan startup bernama Londrio di tahun 2015, yang juga berakhir dengan kegagalan. Dan kini, bermodal pelajaran yang ia dapat di startup sebelumnya, ia pun kembali dengan startup baru di bidang pertanian.
Apa saja pelajaran yang ia dapat dari jatuh bangun mendirikan startup? Beginilah kisah Mujiyanto yang ia ceritakan kepada Tech in Asia Indonesia.
Jangan terlalu bangga dengan ide yang tidak dijalankan orang lain
Lima tahun yang lalu, Mujiyanto membuat sebuah startup yang memungkinkan para pengguna untuk saling bertukar barang, yang bernama Barter Indonesia. Layanan ini serupa dengan yang dihadirkan startup asal Filipina yang bernama Magpalitan, yang juga sudah tidak beroperasi saat ini.
Awalnya ia membangun situs tersebut seorang diri, sebelum kemudian mengajak dua orang rekannya untuk bergabung. Ia merasa bahwa ide startup miliknya merupakan ide cemerlang karena belum ada yang melakukan hal serupa di Indonesia.
“Saat itu saya belum terlalu mengerti tentang apa itu startup, bagaimana bisnis modelnya, dan apa itu perusahaan modal ventura (venture capital). Saya hanya berpikir jika situs itu nantinya dikunjungi banyak orang, maka saya bisa pasang iklan dengan Google AdSense,” tutur Mujiyanto.
Setahun berlalu, ia tidak kunjung melihat penambahan pengunjung. Situs tersebut pun akhirnya mati tidak terawat.
Dari situ saya belajar bahwa apabila tidak ada seorang pun yang menjalankan startup dengan bisnis yang serupa dengan kita, maka ada dua kemungkinan. Pertama, memang sudah ada yang membuat dan gagal. Kedua, sudah ada yang pernah membuktikan bahwa ide bisnis tersebut memang tidak bisa diterima pasar atau menghasilkan uang
Eksekusi dan fokus jauh lebih penting dibanding ide
Pada tahun 2015, Mujiyanto kembali mendapatkan ide bisnis berupa startup laundry on demand, yang kemudian ia beri nama Londrio. Ia tertarik dengan bisnis tersebut setelah mendengar kabar GO-JEK yang mulai beranjak sukses, dan merasakan sendiri rasa malas ketika hendak menggunakan jasa laundry konvensional.
Tidak ingin merasakan kegagalan seperti startup pertamanya, ia pun coba meriset terlebih dahulu tentang ide bisnis tersebut. Ia pun menemukan sebuah startup di Amerika Serikat yang menjalankan bisnis serupa dan berhasil mendapat pendanaan. Sebelum mulai mendirikan Londrio, ia pun mencoba belajar dari beberapa buku startup.
“Saya pun mulai dengan melakukan survei ke beberapa kampus, hingga mencari mentor salah satu dosen manajemen di STIE YKPN. Dan dari situ saya berkesimpulan bahwa ide bisnis ini akan sukses,” ujar Mujiyanto.
Kali ini, ia pun kembali mengajak dua orang rekannya untuk bergabung, yaitu Rahmad Didik dan Endah Pratiwi. Namun alih-alih membangun produk yang baik, ia justru fokus untuk masuk ke program akselerator seperti Google Launchpad. Ketika akhirnya gagal diterima, mereka pun tidak melanjutkan pengembangan startup tersebut.
“Saya kemudian kaget ketika mendengar berita startup laundry Ahlijasa berhasil menjadi juara Startup World Cup regional Indonesia. Saya pun belajar bahwa yang terpenting dalam membangun startup bukan hanya ide yang baik, tapi juga fokus dan eksekusi,” kenang Mujiyanto.
Kembali mencoba peruntungan di bidang pertanian
Tidak kapok dengan dua kegagalan sebelumnya, Mujiyanto kemudian kembali membuat startup bernama Simbah. Untuk startup ini, ia pun mengajak rekannya Laili Annas Sholikhan untuk bergabung sebagai CTO, serta beberapa rekannya di startup sebelumnya.
“Keputusan ini kami ambil setelah berhasil memenangkan kompetisi Solusi Desa Broadband Terpadu yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),” tutur Mujiyanto.
Simbah sendiri merupakan aplikasi mobile yang bisa memberikan informasi kepada para petani untuk bisa meningkatkan produktivitas mereka. Mereka bahkan bisa merekomendasikan tanaman apa yang cocok untuk ditanam di daerah tertentu. Selain itu, Simbah juga menghadirkan layanan yang bisa membantu penjualan hasil panen dari petani langsung kepada konsumen.
Berkat kerja sama dengan Kominfo, Simbah saat ini telah digunakan oleh petani di tiga puluh desa yang tersebar di tiga kabupaten, yaitu Boyolali, Grobogan, dan Atambua. Kominfo sendiri menargetkan Simbah agar bisa diimplementasikan di sekitar empat ratus desa di seluruh Indonesia.
Menurut Mujiyanto, saat ini pihaknya telah menerima lebih dari 100 ribu pertanyaan per bulan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut nantinya akan coba ia kelola dan balas dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan dan machine learning. Mereka pun telah memfasilitasi sekitar seratus transaksi hasil pertanian seperti cabai, bawang, dan beras.
Sejauh ini, Simbah telah mempunyai tujuh karyawan yang mayoritas merupakan developer. Untuk menjalankan operasional, Simbah pun mengaku telah mendapat pendanaan dari angel investor.
“Saat ini, kami masih menghadapi tantangan di bidang edukasi masyarakat. Untuk mengatasi itu, kami pun memilih seorang petani muda di masing-masing kelompok tani yang nantinya bisa mengedukasi para petani lain di kelompoknya,” pungkas Mujiyanto.
Di Indonesia sendiri kini telah banyak startup yang berusaha mengatasi masalah pertanian, mulai dari Eragano, TaniHub, 8Villages, hingga iGrow. Menarik untuk ditunggu bagaimana kiprah Simbah ke depannya, dan pelajaran apa lagi yang nantinya bisa ia bagikan kepada kita semua.
(Diedit oleh Septa Mellina)
The post Gagal Bangun 2 Startup, Founder Ini Ceritakan Pelajaran Berharga yang Ia Petik appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Entrepreneur Life