Lazada Sanggah Klaim Shopee Tentang Siapa E-Commerce Terbesar di Asia Tenggara
Ikhtisar
- CEO Lazada Max Bittner menyatakan bahwa Lazada Group masih merupakan e-commerce nomor satu dalam hal GMV dan pelanggan unik di Asia Tenggara. Sayangnya, ia enggan menyebutkan berapa angka GMV dan pelanggan unik yang ia miliki saat ini.
- GMV sendiri merupakan istilah untuk total pembayaran yang dibayarkan para pembeli kepada penjual di dalam sebuah e-commerce.
- Perhitungan ini biasa digunakan untuk mengukur performa startup e-commerce di awal perkembangannya, karena biasanya para startup tersebut belum bisa mendapat pemasukan atau keuntungan.
Pada tanggal 22 September 2017 yang lalu, Sea (sebelumnya bernama Garena) telah resmi melakukan pendaftaran untuk masuk bursa saham (IPO) di New York Stock Exchange, Amerika Serikat. Dalam dokumen pendaftaran tersebut, Sea menyebutkan beberapa klaim, seperti pernyataan bahwa mereka merupakan pemain e-commerce terbesar di Asia Tenggara.
Untuk mendukung klaim tersebut, startup dengan valuasi terbesar di Asia Tenggara itu merujuk pada laporan Frost & Sullivan, yang memang dibuat atas permintaan dari Sea. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa marketplace Shopee yang dimiliki oleh Sea merupakan e-commerce dengan pangsa pasar terbesar di Greater Southeast Asia.
Keunggulan tersebut ditunjukkan dengan angka Gross Merchandise Value (GMV), total barang yang terjual, serta total pesanan yang lebih tinggi dibanding para pesaing mereka. Shopee disebut menguasai 10,6 persen pasar e-commerce Asia Tenggara dalam hal GMV, dan 14,7 persen dalam hal total pesanan.
Khusus dalam hal total pesanan, Shopee disebut melayani pesanan 2,2 kali lipat lebih banyak dari pesaing terdekat mereka di paruh pertama tahun 2017 ini. Sayangnya, laporan tersebut tidak menyebutkan siapa pesaing terdekat yang dimaksud.
Lazada: Bukan Shopee yang nomor satu, tapi kami
Klaim ini kemudian memicu komentar dari marketplace besar lain di Asia Tenggara, yaitu Lazada. Perusahaan yang kini dimiliki oleh Alibaba tersebut mempertanyakan kebenaran dari klaim itu.
“Ini pertama kalinya saya mendengar istilah Greater Southeast Asia. Mengapa mereka tidak sekalian mengubah nama mereka menjadi GSea?” ujar CEO Lazada Max Bittner kepada Tech in Asia lewat email.
Bittner kemudian menyatakan bahwa Lazada Group masih merupakan e-commerce nomor satu dalam hal GMV dan pelanggan unik di Asia Tenggara. Sayangnya, ia enggan menyebutkan berapa angka GMV dan pelanggan unik yang ia miliki saat ini.
Dalam dokumen IPO mereka, Sea melaporkan GMV senilai US$1,47 miliar (sekitar Rp19,9 triliun) dengan 80,6 juta pesanan yang diterima Shopee sejak bulan Januari hingga Juni 2017. Angka tersebut mencakup Taiwan, yang menjadi alasan mengapa Sea kemudian menggunakan istilah Greater Southeast Asia. Taiwan sendiri merupakan pasar kedua yang menyumbang jumlah pesanan terbanyak bagi Shopee, setelah Indonesia.
Sebagai perbandingan, Lazada kini telah hadir di seluruh negara Asia Tenggara di mana Shopee beroperasi. Namun mereka belum menghadirkan layanan di Taiwan.
Shopee alami perkembangan pesat di tahun 2017
Ajay Sunder, Vice President Frost & Sullivan untuk Digital Transformation di Asia Pasifik, menjelaskan bahwa Lazada memang lebih unggul dari Shopee pada tahun 2016. GMV mereka lebih banyak dibanding GMV Shopee di Asia Tenggara dan Taiwan.
“Namun di paruh pertama tahun 2017, Shopee mengalami peningkatan pesat dan berhasil menyalip Lazada. Shopee kini menguasai 10,6 persen pangsa pasar dalam hal GMV, sedangkan Lazada hanya menguasai 7,5 persen,” jelas Sunder.
Terkait penggunaan istilah Greater Southeast Asia dengan penambahan Taiwan, Sunder menyatakan bahwa mereka menggunakan istilah tersebut untuk memasukkan daerah yang secara umum tidak termasuk dalam negara Asia Tenggara. Sunder menambahkan bahwa istilah tersebut sudah umum di kalangan bisnis teknologi informasi.
Lazada sendiri menghasilkan GMV sebesar US$1,3 miliar (sekitar Rp17,5 triliun) sepanjang tahun 2016. Sedangkan untuk tahun ini, Shopee memperkirakan GMV mereka bisa mencapai angka US$3 miliar (sekitar Rp39 triliun).
Apakah GMV merupakan metrik yang baik?
GMV sendiri merupakan istilah untuk total pembayaran yang dibayarkan para pembeli kepada penjual di dalam sebuah e-commerce. Perhitungan ini biasa digunakan untuk mengukur performa startup e-commerce di awal perkembangannya, karena biasanya para startup tersebut belum bisa mendapat pemasukan atau keuntungan.
Pertanyaannya, apakah GMV bisa menunjukkan bahwa sebuah startup tengah menjalankan bisnis yang sehat?
“Seperti yang kita lihat di India, GMV bisa dengan mudah dinaikkan dengan pemberian subsidi. Dan sejarah menunjukkan bahwa GMV tersebut nantinya akan turun drastis begitu sebuah e-commerce menghentikan subsidi,” tutur Bittner.
Dokumen IPO Sea sendiri menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya GMV dan pendapatan mereka, keuntungan mereka justru menurun karena biaya pemasaran. Salah satu faktor yang membuat biaya pemasaran mereka membengkak adalah promo gratis ongkos kirim serta kampanye promosi lain untuk menggaet pengguna.
Lazada sendiri juga memberikan subsidi untuk mendorong pertumbuhan e-commerce mereka. Namun sejauh ini belum diketahui seberapa besar pengaruh langkah tersebut terhadap performa keuangan mereka.
Subsidi boleh diberikan, asal diiringi dengan skema monetisasi yang baik
Penggunaan subsidi untuk menaikkan GMV sendiri sebenarnya boleh saja dilakukan, asalkan mereka bisa lekas melakukan monetisasi untuk menaikkan pendapatan. Selain itu, mereka pun harus memastikan bahwa pengguna nantinya akan tetap bertahan begitu subsidi dihentikan.
Shopee sendiri telah coba melakukan monetisasi dengan mempromosikan produk tertentu yang membayar sejumlah uang kepada mereka. Hal ini telah mereka terapkan di Taiwan dan Indonesia. Khusus untuk Taiwan, Shopee juga menarik komisi untuk setiap barang yang terjual di platform mereka.
Sedangkan Lazada, telah mendapat pemasukan dari komisi untuk setiap barang yang terjual, serta biaya pembayaran dan logistik. Khusus untuk penarikan komisi dari barang terjual, mereka belum memberlakukan hal tersebut di Indonesia.
“Kami akan terus agresif membangun pangsa pasar secara berkelanjutan, dengan kombinasi iklan serta pengalaman berbelanja dan menjual barang yang baik. Hal ini pun didukung oleh operasional logistik yang kami miliki,” tutur Bittner. Lazada sendiri enggan menjelaskan apakah mereka sudah mulai memangkas biaya subsidi atau belum.
Hati-hati dengan transaksi siluman
Selain dengan subsidi, angka GMV juga bisa bertambah secara tidak sehat ketika ada dua pengguna yang saling menjual dan membeli barang di dalam sebuah platform, hanya untuk mendapat hadiah voucer atau poin. Hal ini biasanya bisa diatasi dengan pemberlakuan biaya pembayaran.
Itulah mengapa Lazada telah memberlakukan biaya tersebut, sedangkan sejauh ini Shopee belum melakukan hal yang sama.
Transaksi siluman seperti di atas tetap bisa meningkatkan GMV, namun mereka tidak termasuk dalam perhitungan transaksi unik. Lazada menyatakan bahwa saat ini mereka merupakan marketplace dengan pelanggan unik terbesar di Asia Tenggara, tanpa menyebutkan angka yang pasti.
Dalam laporan tahunan mereka, Lazada disebut telah mempunyai 23 juta pelanggan aktif tahunan pada akhir bulan Maret 2017. Sedangkan Shopee hanya menyebutkan bahwa mereka mempunyai 4,2 juta pelanggan aktif bulanan pada pertengahan tahun 2017, tanpa menyebut angka yang bisa mereka capai dalam setahun.
Plus minus model bisnis C2C yang dilakukan Shopee
Menurut Lawrence Cheok, Senior Research Manager dari IDC Singapura, kenaikan GMV dari Shopee sangat dipengaruhi oleh model bisnis mereka yang langsung mempertemukan penjual dan pembeli (C2C). Itu membuat Shopee tidak memerlukan biaya untuk menyimpan barang dan gudang, mereka hanya harus bekerja sama dengan jasa logistik.
Sebaliknya, Lazada memulai bisnis sebagai e-commerce B2C, sehingga mereka harus menyimpan barang dan menyiapkan gudang. Beberapa tahun terakhir, barulah Lazada mulai beralih ke bisnis marketplace C2C dengan menyediakan fasilitas gudang kepada para penjual.
“Shopee menyatakan bahwa mereka telah mempunyai 1,6 juta penjual dengan 74 juta produk di pertengahan tahun 2017, sedangkan Lazada hanya mempunyai 40 ribu penjual. Dari sudut pandang ini, sangat mungkin Shopee berkembang lebih cepat daripada Lazada,” ujar Cheok.
Namun kesuksesan Shopee, yang tentu tidak mudah dan harus tetap dihargai, juga mempunyai kerugian dalam jangka panjang menurut Cheok.
“Demi menjaga biaya logistik, Shopee harus beralih ke model B2C di kemudian hari. Berdasarkan angka-angka yang mereka sebutkan, kami memperkirakan rata-rata nilai transaksi yang mereka layani (AOV) sekitar US$15 (Rp200 ribu). Hal ini pun menjadi tantangan bagi mereka untuk mengenakan biaya logistik, tanpa mengurangi jumlah transaksi,” tutur Cheok.
Itulah mengapa Cheok menyarankan Shopee untuk beralih ke bisnis B2C dan meningkatkan rata-rata nilai transaksi mereka dengan menjual produk bermerek, serta melakukan monetisasi lewat iklan.
Namun apabila Shopee melakukan itu, akan ada masalah lain yang muncul, yaitu persaingan antara penjual barang bermerek dan penjual individu. “Untuk menarik penjual besar dan mengembangkan model bisnis B2C, Shopee harus mengikuti Alibaba yang memisahkan Taobao dan TMall, membuat entitas terpisah untuk bisnis B2C dan C2C,” pungkas Cheok.
Tech in Asia telah meminta tanggapan dari Sea terkait komentar dari Lazada dan IDC di atas. Namun saat ini Sea tengah dalam “masa tenang”, yang merupakan waktu saat perusahaan yang akan masuk bursa saham dilarang untuk memberikan komentar atau informasi yang bisa mempengaruhi harga saham mereka ketika mulai diperdagangkan nanti.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam Bahasa Inggris oleh Judith Balea. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Septa Mellina)
The post Lazada Sanggah Klaim Shopee Tentang Siapa E-Commerce Terbesar di Asia Tenggara appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Inspirasi