skip to Main Content

Memaknai Disrupsi sebagai Pemicu Kolaborasi di Bidang Teknologi


Ikhtisar
  • Disrupsi yang disebabkan oleh inovasi teknologi merupakan konsekuensi dari perubahan pola perilaku konsumsi masyarakat yang lebih mengutamakan kepraktisan dan partisipasi aktif.
  • Daripada berjuang melawan disrupsi, para pelaku industri kini lebih memilih berkolaborasi agar mampu menghadirkan produk di beragam tempat sesuai dengan preferensi konsumen.
  • Pemerintah sebagai regulator senantiasa berusaha untuk menciptakan ekosistem yang positif, di mana pemain lama ataupun baru dapat hadir dan berkembang bersama-sama.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan startup yang mengalami peningkatan telah memberikan banyak sekali dampak kepada dinamika sosial dan perekonomian di tanah air. Disrupsi teknologi dan kebiasaan ini pun tak ayal mendorong banyak pelaku bisnis untuk mengembangkan strategi supaya bisa beradaptasi di era yang serba cepat seperti sekarang. Ada yang mengutamakan kolaborasi, ada pula yang mengedepankan transformasi digital.

Kedua opsi tersebut menjadi inti pembicaraan sejumlah pemangku kepentingan yang hadir dalam acara Deloitte Spark, 24 Oktober 2017 lalu. Dengan melibatkan berbagai pihak yang mewakili sektor korporasi, modal ventura, perbankan, startup, dan regulator, diskusi ini memberikan pandangan menarik terkait bagaimana memandang disrupsi sebagai siklus yang patut disikapi secara lebih positif.

Deloitte 1 | Photo

Disrupsi startup: katalis yang mengganggu pelaku “ekonomi lama”

Menurut perwakilan pembicara dari pihak pelaku usaha, disrupsi terjadi karena perubahan pola perilaku konsumen yang semakin tidak mudah diprediksi. Terlebih lagi di era pemanfaatan teknologi yang semakin terus berkembang.

Untuk menghadapi disrupsi digital semacam ini, perusahaan pun dihadapkan dengan pilihan sulit, mulai dari memikirkan cara yang efektif untuk beradaptasi atau justru mengakui kekalahan mereka akibat tergusur menghadapi pesaing yang kian inovatif. Hal ini diakui oleh Presiden Grup Blue Bird, Noni Sri Ayati Purnomo, selaku pihak yang pernah terkena dampak dari disrupsi layanan transportasi berbasis aplikasi online di Indonesia.

Wanita yang merupakan cucu dari pendiri perusahaan taksi Blue Bird ini menjelaskan bahwa disrupsi yang dialami korporasi saat ini lebih banyak disebabkan oleh momentum yang lepas atau meleset dari genggaman awal.

Blue Bird Berita Satu | Photo

Sumber: BeritaSatu

Noni mengatakan sebelum taksi online populer di Indonesia, pihak Blue Bird sebetulnya sudah memiliki inisiatif untuk mengadopsi layanan transportasi on-demand ke dalam aplikasi mobile bawaan mereka di Blackberry.

“Namun karena momentum penggunaan saat itu tidak sebaik  perkembangan aplikasi mobile modern (Android dan iOS), hasil inovasi produknya pun kurang bisa bersaing dengan aplikasi lain yang lebih bagus.” kenang Noni.

Senada dengan disrupsi yang dialami Blue Bird, Eddi Danusaputro selaku perwakilan Mandiri Capital Investments (MCI) juga membeberkan bahwa institusi perbankan tengah menghadapi dilema serupa dalam menghadapi perilaku nasabah yang mulai menjauh dari aktivitas konvensional. Hal ini berlaku tak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di berbagai penjuru dunia.

Menurut pria yang menjabat sebagai CEO MCI ini, ada banyak faktor yang menyebabkan perubahan perilaku masyarakat, mulai dari keengganan mereka menghadapi lalu lintas perkotaan yang macet, birokrasi perbankan yang kurang fleksibel, dan lain-lain. “(Akibatnya) aktivitas kunjungan masyarakat ke kantor cabang pun mulai mengalami penurunan,” beber Eddi.

Kolaborasi | Illustration

Kolaborasi demi mengoptimalkan peluang bisnis dua belah pihak

Menghadapi situasi yang ada di hadapan mereka, kedua entitas korporasi ini pun mempertimbangkan upaya transformasi dan kolaborasi sebagai solusi yang tepat.

Blue Bird mendirikan sebuah divisi baru bernama Strategy Management and Business Transformation Office untuk membidani keputusan kolaborasi bisnis. Pada Maret 2017, Blue Bird bersama dengan startup layanan transportasi on-demand GO-JEK kemudian meresmikan fitur pemesanan taksi bernama GO-BLUEBIRD yang terintegrasi dengan aplikasi GO-JEK.

“Kami selalu tertarik dengan peluang omni-channel. Dengan kolaborasi semacam ini, konsumen pun dapat menggunakan jasa Blue Bird dengan cara bagaimana pun yang mereka mau,” ungkap Noni.

Go-bluebird | Screenshot

Sama halnya dengan Blue Bird, pihak Mandiri melihat disrupsi ini sebagai peluang untuk mengolaborasikan layanan perbankan supaya lebih efisien lagi dalam melayani, sekaligus mengurangi biaya operasional seperti ATM yang tidak sedikit.

“Masa depan layanan perbankan saat ini terletak di mobile banking, karena itulah kita berinvestasi dalam banyak hal termasuk startup. Termasuk dalam teknologi yang tak dapat kita kembangkan sendiri,” jelas Eddi.

Di samping teknologi, kolaborasi tersebut juga ditujukan untuk memenuhi perubahan pola konsumen perbankan yang jauh lebih dinamis dan modern. Eddi menjelaskan bahwa konsumen perbankan dari kalangan millennial memiliki pola perilaku penggunaan layanan perbankan yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

“Konsumen muda memiliki kecenderungan untuk lebih partisipatif dalam mengelola investasi mereka, karena itu mereka melirik layanan seperti peer-to-peer (P2P) lending karena mereka lebih leluasa mengatur siapa atau pihak mana yang patut didanai,” tambah Eddi.

Dengan berbagai macam alasan itulah, Bank Mandiri kemudian   mendirikan sebuah firma corporate capital venture yang berfungsi untuk menjembatani berbagai pengembangan layanan perbankan modern,  terutama untuk fintech, platform P2P lending, dan digitalisasi perbankan.

ATM Machine Illustration | Photo

Regulator sebagai gateway ekosistem

Dengan kemunculan disrupsi di berbagai sektor, pemerintah sebagai pihak regulator tidak lantas lepas tangan membiarkan dinamika yang ada mengganggu, atau bahkan mematikan, para pelaku industri lama.

Peran di atas ditekankan oleh Hari Santosa Sungkari selaku Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Salah satu tugas beliau adalah memediasi dan mengoordinasikan kebijakan pengembangan tatanan regulasi, khususnya ekonomi kreatif.

Hari menjelaskan tugas utama regulator adalah mengelaborasikan sebuah ekosistem positif, yang diibaratkan seperti sebuah tangki air ikan. Pemerintah perlu mempertimbangkan segala sesuatunya supaya semua “ikan-ikan” ini bisa hidup dalam tangki yang sama.

Deloitte 2 | Photo

“Ada jurang pemisah yang cukup lebar (dalam menjembatani) pihak startup dengan pihak korporasi. Karena itu pemerintah tengah mengupayakan sebuah regulasi yang bisa menjangkau semua pelaku di dalamnya,” kata Hari. “Model peta jalan seperti yang diterapkan dalam roadmap e-commerce, akan menjadi model regulasi yang tepat untuk diimplementasikan.”

Di samping regulasi yang bersifat meluas, Hari juga menekankan perlunya kolaborasi antara kedua belah pihak untuk mendorong sebuah ekosistem yang positif. Salah satunya melalui peran program inkubator (ataupun pra-inkubator) yang membantu memperkenalkan startup dengan perusahaan dari lingkup korporasi.

Bekraf sendiri telah menginisiasi hal serupa lewat peluncuran program pembinaan para founder startup bernama Bekraf for Pre-Startup (BEKUP) sejak Juni 2016. Lewat BEKUP Journey, startup yang telah beroperasi akan mengikuti program pendampingan lanjutan dan link-and-match dengan mitra strategis, salah satunya dari pihak korporasi di Indonesia.

Dengan perencanaan strategi yang dimiliki pihak pemerintah, Hari selaku perwakilan pihak regulator berharap beberapa tahun ke depan Indonesia memiliki fondasi yang kuat guna menghadapi dinamika perkembangan teknologi dan segala disrupsi yang ditimbulkan olehnya.

(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)

The post Memaknai Disrupsi sebagai Pemicu Kolaborasi di Bidang Teknologi appeared first on Tech in Asia Indonesia.

Source: Inspirasi

Back To Top