[Opini] Masa Depan Fintech Bukanlah Mobile Payment, tetapi Data
Pada Oktober 2018, Grab berhasil mendapat pendanaan US$200 juta (sekitar Rp3 triliun) untuk melakukan ekspansi layanan teknologi finansial (fintech). Ini berarti bahwa Grab tak lagi hanya penyedia layanan transportasi online.
Sekarang mereka menjadi salah satu perusahaan finansial nonbank terbesar di Asia Tenggara. Mereka menawarkan pembayaran, pinjaman mikro, dan berbagai layanan lainnya. Faktanya, mereka telah melayani lebih dari satu miliar transaksi finansial tiap tahun.
Grab bukan satu-satunya perusahaan teknologi yang merambah ke bidang fintech. Perusahaan lainnya, termasuk perusahaan transportasi online saingan mereka, GO-JEK, serta e-commerce raksasa Alibaba dan Amazon, juga ikut terjun ke bidang ini.
Apa yang menarik dari fintech? Di satu sisi, masih banyak orang yang belum terjamah layanan perbankan di dunia. Mereka bisa menjadi basis pengguna siap pakai untuk berbagai produk keuangan yang inovatif. Di sisi lain, terdapat kerentanan bisnis model jaringan pembayaran seperti Visa dan Mastercard, karena pengenaan biaya transaksi yang berdampak pada kenaikan harga serta berpotensi memperlambat inovasi.
Tapi hal paling menarik dari fintech adalah kesempatan mengumpulkan dan menganalisis data pelanggan. Fintech secara harfiah adalah tempat di mana uang berada. Mengetahui bagaimana pelanggan membelanjakan uangnya bisa mengarahkan perusahaan pada ladang keuntungan.
Dengan proses penggalian data (data mining) melalui fintech, perusahaan akan mendapat pemahaman tentang apa yang pelanggan inginkan dan butuhkan.
Mereka dapat menggunakan wawasan tersebut untuk meluncurkan produk baru atau memperbarui yang sudah ada. Mereka juga dapat menjual data ke pihak ketiga, membuka peluang pendapatan baru.
Mengapa perusahaan teknologi merambah bidang fintech
Fintech akan menjadi industri data. Perusahaan afiliasi Alibaba, Ant Financial, adalah perusahaan fintech terbesar di dunia. Namun, Vice President sekaligus Chief Data Scientist Ant Financial, Yuan (Alan) Qi, berpendapat kalau istilah “fintech” tidak lagi tepat dalam menggambarkan perusahaan. Menurutnya, Ant Financial lebih cocok disebut perusahaan “techfin”, mengingat fokus penelitiannya yang intens di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Pasar dan para investor tampaknya menyetujui pendekatan ini. Ant Financial telah membukukan peningkatan laba sebelum pajak sebesar lebih dari 65 persen dalam beberapa tahun fiskal terakhir. Mereka juga telah memperoleh pendanaan seri C sebesar US$14 miliar (sekitar Rp200 triliun) , yang akan mereka gunakan untuk melakukan ekspansi pada skala global serta melanjutkan pengumpulan data.
Perkembangan sebenarnya dari sektor fintech terletak pada kemungkinan mengombinasikan informasi finansial dengan berbagai jenis data lainnya.
Mari kita lihat contohnya di kawasan Asia Tenggara. Para startup telah mengumpulkan lebih banyak data warga Asia Tenggara dan kebiasaan mereka daripada yang dapat diberikan oleh sensus mana pun, karena mereka menawarkan layanan yang nyaman secara gratis atau dengan biaya kecil.
Ketika persaingan pasar dan pelanggan mencapai jalan buntu, para unicorn di Asia Tenggara—termasuk Grab, GO-JEK, Razer, dan Sea—telah menambah opsi pembayaran mereka dan menyerap perusahaan-perusahaan fintech, terutama perusahaan di bidang pembayaran.
Para perusahaan teknologi lokal papan atas telah merambah ke bidang-bidang baru lainnya, seperti layanan kecantikan on-demand dan pengiriman bahan makanan. Tetapi teknologi pembayaran tetap menjadi perhatian utama para pemain besar ini.
Hal ini dikarenakan setiap layanan berakhir pada transaksi dan meningkatkan jumlah informasi yang bisa dikumpulkan. Misalnya, GO-JEK dan Grab sekarang dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai pergerakan pengguna, jadwal, bahkan kebiasaan mereka membelanjakan uang.
Kondisi ini membuka peluang bagi berbagai produk dan layanan baru. CEO Grab, Anthony Tan berbicara secara blak-blakan tentang rencana Grab untuk menggunakan informasi yang telah mereka kumpulkan melalui berbagai produk fintech untuk menentukan peringkat kredit alternatif, yang nantinya bisa dikaitkan dengan produk perbankan.
GO-JEK juga telah membuat loncatan di bidang perkreditan. Partner mereka, Findaya, mulai mencoba opsi kredit yang memungkinkan pengguna membayar di kemudian hari.
Menjelajahi fintech juga mendorong perusahaan untuk memperluas pemahaman mereka tentang para pelanggan dan meningkatkan produk-produk serta layanan nonfinansial. Contohnya, Sea dengan cerdik memanfaatkan merek game mereka yang sukses, Gerena, dalam menargetkan pasar gamer yang tumbuh pesat.
Informasi ini kemudian mereka gunakan untuk layanan e-commerce miliknya. Kemungkinan besar mereka juga menggunakan data platform e-commerce untuk melayani pengguna yang relevan terhadap iklan game.
Pada akhirnya, perusahaan teknologi yang merambah ke bidang fintech dapat menciptakan aliran pendapatan baru dengan cara menjual informasi ke pihak ketiga. Meskipun startup tersebut punya target pasar yang kecil dan spesifik, data yang mereka punya tetap bernilai bagi para pemain lain di pasar serupa.
Peluang dan tantangan
Meski potensi dari data mining dalam fintech menarik bagi banyak pihak, di sisi lain tetap terdapat berbagai rintangan. Melakukan monetisasi terhadap data dan analisis sebenarnya bersifat kompleks dibandingkan sekadar membebankan biaya transaksi, seperti yang Visa dan Mastercard lakukan.
Data bisa tak berarti jika tidak dianalisis dengan efektif, atau jika informasi yang kamu temukan tidak dapat digunakan.
Karena itu, perusahaan yang ingin beralih ke bidang data mining harus serius merencanakan untuk berinvestasi dalam pengembangan kapasitas karyawan di bidang teknologi dan bisnis. Hal ini penting untuk memastikan perusahaan dapat menjalankan strategi dan mencapai potensi maksimal.
Fintech tampaknya akan bergeser dari akarnya, yaitu bidang pembayaran ke industri data. Namun pergeseran ini sebenarnya tetap mengacu pada prinsip dasar bisnis: perusahaan harus memahami pelanggannya untuk melayani mereka dengan lebih baik.
Para pendukung kebijakan privasi, terutama di Eropa dan Amerika Serikat, mungkin saja sukses dalam menentang beberapa teknik pengumpulan data. Namun dalam jangka panjang, kebanyakan pengguna akan terbuka pada data mining selama hal tersebut mengarah pada penciptaan produk dan layanan yang lebih efisien dan murah.
Pesan untuk para pengusaha jelas. Jika kamu mau membangun aplikasi fintech yang sukses saat ini, tidak cukup hanya dengan memfasilitasi transaksi.
Dari awal, kamu harus punya visi tentang data seperti apa yang ingin aplikasi kamu kumpulkan dan bagaimana data tersebut akan digunakan. Begitu pun dengan startup teknologi yang sudah mapan. Mereka harus mempertimbangkan apakah masuk ke ranah fintech adalah keputusan yang masuk akal.
Perusahaan fintech dan startup yang berpusat pada pengumpulan data akan memimpin bisnis masa depan. Penggalangan dana dengan nominal yang berhasil memecahkan rekor hanyalah sebuah awal. Setelah nilai dari data dipahami secara menyeluruh, mereka yang ketinggalan akan membeli informasi atau lenyap karena tidak mampu melayani kebutuhan pelanggan.
Hal terbesar dalam bidang fintech nantinya bukan lagi pembayaran mobile, tetapi data.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Fairuz Rana Ulfah sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Iqbal Kurniawan)
This post [Opini] Masa Depan Fintech Bukanlah Mobile Payment, tetapi Data appeared first on Tech in Asia.
The post [Opini] Masa Depan Fintech Bukanlah Mobile Payment, tetapi Data appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Inspirasi