Shopee, Lazada, dan Bukalapak Rekrut Mayoritas SDM E-commerce di Asia Tenggara
Pada November 2018, Google dan Temasek merilis pembaruan laporan untuk studi industri yang mereka lakukan. Laporan tersebut memperkirakan pasar e-commerce di Asia Tenggara akan bernilai hingga US$240 miliar (sekitar Rp3,4 kuadriliun) pada tahun 2025.
Angka itu lebih tinggi US$40 miliar (Rp572 triliun) ketimbang perkiraan tahun sebelumnya, berkat pertumbuhan pesat pada bisnis persewaan hunian online untuk kebutuhan wisata, pengantaran makanan online, layanan berlangganan siaran musik, serta video on-demand.
Studi itu juga memperkirakan nilai Gross Merchandise Value (GMV) dari perusahaan-perusahaan berbasis internet di Asia Tenggara akan mencapai US$72 miliar (sekitar Rp1,02 kuadriliun) di tahun 2018. Sebagian besar dari nilai itu berasal dari sektor e-commerce yang diperkirakan akan membengkak hingga US$102 miliar (Rp1,45 kuadriliun) pada tahun 2025.
Kami melakukan penelitian sendiri untuk menganalisis kesiapan tenaga kerja bidang e-commerce Asia Tenggara pada saat ini. Studi ini dilakukan untuk menilai kesiapan tenaga kerja dalam merealisasikan potensi US$240 miliar di masa depan.
Kami menganalisis data karyawan dan tren rekrutmen dari para pelaku e-commerce terbesar di Asia Tenggara berdasarkan data Peta E-commerce Q3 yang telah kami himpun. Studi ini kami lakukan melalui platform LinkedIn dan mencakup Thailand, Singapura, Malaysia, Indonesia, Vietnam, dan Filipina.
Pertumbuhan tenaga kerja lebih dari rata-rata industri
Dengan menganalisis tren rekrutmen dari para pelaku e-commerce terbesar di Asia Tenggara, kami menemukan bahwa jumlah tenaga kerja mereka meningkat 40,7 persen dalam kurun Q4 2016 hingga Q3 2018.
Google dan Temasek memperkirakan tenaga kerja di industri berbasis internet perlu tumbuh sepuluh persen untuk mencapai potensi terbesarnya. Pertumbuhan di sektor e-commerce jauh lebih tinggi dari rata-rata industri. Ini merupakan sinyal positif, karena para perusahaan ini biasanya mengahadapi kesulitan ketika mencari kandidat karyawan yang sesuai.
EcommerceIQ juga melakukan survei serupa, dan Facebook Indonesia menyatakan, “Ada banyak kandidat hebat di luar sana. Hanya saja, kadang kala proses rekrutmen dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saat wawancara tak masuk akal, sehingga menghilangkan kesempatan para kandidat di hadapan perekrut.”
Shopee, yang jumlah tenaga kerjanya tumbuh 176,8 persen dalam dua tahun (dari 1.384 orang menjadi 3.831 karyawan pada Q3 2018), mendukung pernyataan tersebut. Perkembangan pesat Shopee menandakan bahwa mereka rata-rata merekrut tiga orang per hari pada periode tersebut.
Pertumbuhan Shopee yang sangat pesat dimulai saat perusahaan induknya, Sea Group (yang dulu populer sebagai Garena), menggalang US$720 juta (Rp10 triliun) selama 2016 hingga 2018. Mereka kemudian mendapatkan dana tambahan sebesar US$575 juta (Rp8,2 triliun) saat menawarkan saham kepada publik di New York Stock Exchange (NYSE) pada 2017.
Sementara itu, Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak juga mengalami pertumbuhan pada tenaga kerja masing-masing. Zalora adalah perkecualian di antara para pelaku e-commerce lainnya, karena jumlah karyawannya menurun menjadi 1.715 dari 1.859.
Investasi besar Sea Group pada Shopee tampak jelas saat mereka melaporkan kerugian yang makin besar pada laporan keuangan kuartal ketiga terbarunya. Berkat investasi tersebut, kini Shopee mampu mengungguli para pelaku e-commerce lain yang lebih berpengalaman, serta menjadi pesaing terdekat Lazada di Asia Tenggara.
Shopee juga tidak menunjukkan tanda-tanda memperlambat laju rekrutmennya. Di antara deretan lowongan kerja yang ada untuk sektor e-commerce Asia Tenggara, lebih dari 62 persen berasal dari Shopee. Tempat kedua dan ketiga diduduki Lazada dan Bukalapak yang masing-masing mencakup 19 persen dan 4 persen lowongan kerja.
Lazada tak gentar menghadapi persaingan sengit dari Shopee. Mereka masih memiliki tenaga kerja terbanyak di sektor e-commerce Asia Tenggara, dengan jumlah karyawan mencapai 6.659 orang.
Talenta jangka panjang di sektor e-commerce
Menurut studi kami, departemen yang memilki jumlah tenaga kerja terbanyak adalah operasi dan pemasaran. Posisi ketiga dan keenam dengan jumlah karyawan terbanyak masing-masing ditempati departemen engineering dan IT.
EcommerceIQ menyebutkan bahwa tantangan terbesar muncul saat merekrut para profesional ahli untuk bagian-bagian tertentu, seperti software engineering, digital marketing, data science, dan product marketing. Perkembangan pesat e-commerce berhadapan dengan kondisi kurang ideal, di mana belum ada persediaan tenaga ahli demi memenuhi permintaan karyawan di bidang digital untuk masa akan datang.
Ketiadaan tenaga kerja ahli untuk bidang e-commerce yang spesifik merupakan masalah mendesak, hingga masuk kedalam dugaan problem utama oleh Google dan Temasek. Karena itu, para pelaku industri e-commerce Asia Tenggara kerap merekrut talenta-talenta dari luar wilayah yang punya pengalaman dan pengetahuan sesuai.
Praktik ini mungkin bukan merupakan solusi jangka panjang terbaik. Kebanyakan ekspatriat bekerja berdasarkan kontrak jangka pendek, dan sebagian besar dari mereka enggan tinggal di negara asing dalam jangka waktu lebih dari lima tahun. Solusi idealnya adalah berinvestasi pada talenta lokal yang lebih mungkin mengambil komitmen karier jangka panjang.
Proses mitigasi masalah ini membutuhkan partisipasi dari kedua belah pihak, yakni perekrut dan kandidat karyawan. Facebook Indonesia menyatakan perusahaan-perusahaan digital perlu meninggalkan proses rekrutmen konvensional dan beralih ke metode yang lebih efektif.
Proses wawancara perlu peninjauan kembali. Ekspektasi internal perusahaan juga perlu penyesuaian untuk memprioritaskan kandidat yang memiliki motivasi pribadi tinggi, serta mampu memecahkan masalah dan konflik secara efektif. Untuk mewujudkan ini, perusahaan harus tak lagi mengutamakan hard skill dan pengetahuan spesifik terkait industri.
Para perekrut dari sektor industri digital perlu menginvestasikan sumber daya masing-masing pada upaya pelatihan tenaga kerja, sehingga bisa mengatasi kendala teknis dan pengetahuan karyawan. Lembaga-lembaga pelatihan juga perlu memecahkan masalah umum terkait ketenagakerjaan, seperti perilaku berpindah-pindah tempat kerja, kurangnya rasa kepemilikan pada lingkungan kerja, serta kemampuan berpikir strategis.
Riset pasar menyatakan bahwa skill paling langka di industri saat ini adalah kemampuan memecahkan masalah, berpikir strategis, serta mengajar. Ini merupakan masalah serius, karena sebagian besar lulusan universitas belum punya pengalaman kerja saat masuk dalam bursa kerja.
Kondisi ini berbeda dengan di Amerika Utara. Para generasi muda di sana didorong untuk bekerja paruh waktu, mengikuti program magang, serta meraih pengalaman kerja yang relevan sebelum melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Pada studi ecommerceIQ, perusahaan tersebut menyatakan, “Lulusan universitas cenderung tak memiliki kemampuan-kemampuan dasar saat menjalani profesi pertamanya—rasa kepemilikan terhadap pekerjaan, komunikasi profesional, manajemen stres, dan lain-lain. Mereka sering merasa terbebani dengan perusahaan yang bergerak cepat dan menetapkan KPI (Key Performance Indicator) berat.”
Terakhir, potensi besar industri e-commerce perlu disebarluaskan pada generasi yang akan datang agar mereka terinspirasi dan termotivasi untuk meniti karier di bidang digital. Usaha ini membutuhkan partisipasi aktif dan kolaborasi dari para tenaga pengajar dan pelaku e-commerce, sehingga generasi muda punya gambaran bagaimana mereka bisa meraih sukses di dunia ekonomi digital.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Iqbal Kurniawan sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Pradipta Nugrahanto; Sumber gambar: Construction Plus)
This post Shopee, Lazada, dan Bukalapak Rekrut Mayoritas SDM E-commerce di Asia Tenggara appeared first on Tech in Asia.
The post Shopee, Lazada, dan Bukalapak Rekrut Mayoritas SDM E-commerce di Asia Tenggara appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Inspirasi