Sisi Gelap Industri Game di Indonesia (Bagian 3) – Kisah-Kisah para Pendiri Studio
Layaknya industri apa pun di dunia, selalu ada kisah gelap yang terjadi di dalamnya. Kisah-kisah ini mungkin akan terdengar begitu menyeramkan bagi orang yang asing atau masih terlalu muda untuk menghadapinya, namun terasa begitu sepele di pandangan orang yang telah berpengalaman. Tapi bagaimanapun cara memandang kisah-kisah ini, rasanya cukup penting bagi kita semua untuk selalu ingat bahwa pasang surut kehidupan akan selalu ada.
Industri game yang menghasilkan produk hiburan pun juga memiliki kisah-kisah gelapnya sendiri. Beberapa kisah sebelumnya telah kami sajikan di bagian pertama dan kedua seri artikel ini, namun kumpulan cerita tersebut lebih fokus ke pengalaman karyawan perusahaan game.
Bagaimana dengan pendiri studio game? Apa kisah-kisah yang mereka miliki? Hal tersebutlah yang akan Tech in Asia Indonesia bahas di seri artikel sisi gelap industri game Indonesia bagian ketiga ini. Sama seperti sebelumnya, narasumber kami menolak untuk dipublikasikan identitasnya, namun kami bisa pastikan kalau apa yang diceritakan artikel ini benar adanya dan semoga saja bisa jadi pelajaran bagi kita semua.
Tanpa panjang lebar lagi, mari langsung masuk ke pembahasannya.
Ketika sumber pemasukan hilang
Saya adalah co-founder dari sebuah studio game lokal. Saya membuat game bersama rekan saya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah. Game kami waktu itu dirilis untuk platform yang sudah turun drastis peminatnya sekarang dan diikutkan untuk kompetisi yang diadakan salah satu merek handphone terkenal pada masanya.
Kompetisi tersebut bisa dibilang menjadi gerbang kami untuk semakin serius dalam industri game. Game yang dijual di platform yang sempat populer tersebut pun mulai bisa menghasilkan pemasukan, dan dari sana kami mulai merekrut orang untuk membangun tim sendiri. Meskipun terdengar keren, tapi saat itu kedua co-founder tidak menerima gaji sama sekali, karena seluruh pemasukan dialihkan untuk menggaji karyawan.
… sebelum berani memakai uang investor, tentunya kita harus berani menggunakan uang sendiri dong
Keputusan akhir untuk merekrut karyawan juga muncul karena kami melihat ada pemasukan yang cukup aktif. Jadi kami beranikan diri untuk memutar uang di SDM. Prinsipnya sebelum berani memakai uang investor, tentunya kita harus berani menggunakan uang sendiri dong.
Sayangnya, beberapa lama kemudian platform andalan kami tersebut gulung tikar karena keputusan bisnis yang harus diambil pemiliknya saat itu. Dengan hilangnya platform tersebut, otomatis hilang juga sumber pemasukan kami.
Untuk tetap bisa bertahan, kami pun coba untuk fokus ke platform baru lagi. Tapi ternyata memang butuh waktu yang tidak singkat untuk memahami pasar baru dan menghasilkan produk dengan kualitas yang sesuai. Ditambah lagi ada biaya operasional kantor lain yang harus dibayarkan, dan jumlahnya juga tidak sedikit.
Dalam kondisi yang cukup kritis tersebut, karyawan yang saat itu jumlahnya empat orang, tidak termasuk co-founder, sadar akan keadaan perusahaan. Jadi ketika sudah waktunya memperpanjang kontrak mereka tidak melakukannya.
Sedih sekali sih, padahal kami sama-sama punya mimpi yang sama, tapi ya masa mereka tidak digaji. Staf-staf kami dulu juga punya biaya bulanan yang harus ditanggung kan. Perasaan juga down lah, hahaha. Sudah capek-capek bangun tim, ternyata harus diikhlaskan. Banyak biaya dan waktu yang dulu terasa sia-sia. Tapi ya kami harus realistis.
Setelahnya, selama berbulan-bulan tim kami hanya terdiri dari dua co-founder. Karena anggota tim tinggal dua orang, tentunya runway jadi jauh lebih panjang. Sampai pada akhirnya kami menemukan kesuksesan dengan salah satu game kami di platform yang baru.
Setelah kesuksesan besar tersebut, kami memutuskan untuk mulai perekrutan lagi. Niatnya mau mengambil balik kawan-kawan yang dulu keluar, tapi mereka sudah punya kerjaan lain saat itu. Cukup sayang juga karena semuanya meninggalkan industri game.
…semuanya memang harus terjadi dan merupakan bagian penting dari perjalanan kami untuk ke titik saat ini
Di perekrutan fase baru ini kami juga jadi lebih ketat. Kalau dulu hanya melihat dari kemampuan teknis, kami juga mulai melihat dari segi kultur calon anggota tim, walaupun untungnya yang dulu semua anggota timnya kebetulan cocok dengan kultur kami.
Intinya sih, dulu waktu menjalani proses perampingan memang terasa sakit. Tapi kalau sekarang lihat ke belakang, semuanya memang harus terjadi dan merupakan bagian penting dari perjalanan kami untuk ke titik saat ini. Hal paling menyakitkan itu ya melihat timnya pergi dan kita tidak bisa melakukan apa-apa. Saya rasa semua founder pemikirannya sama untuk kejadian seperti itu.
Inti yang pecah
Saya memulai pengalaman membangun studio game bersama seorang kawan. Saat itu kami fokus sebagai software house, dengan saya sebagai desainer sistem dan kawan saya sebagai programmer. Selang beberapa tahun, saya berjumpa dengan teman kuliah dan mengobrol panjang lebar dengan dia. Dari situlah muncul ide untuk membuat studio game.
Studio kami dimulai dari satu orang programmer dan dua orang artis. Meskipun sudah ada pengalaman dengan software house, tidak mudah juga berubah menjadi studio game. Apalagi saat itu tidak ada yang membimbing kami. Semuanya belajar sendiri dari awal.
Waktu baru mulai, terlihat pola pembagian tugas antara co-founder yang cukup jelas, yaitu masing-masing menjadi produser, programmer, dan satu lagi menangani urusan bisnis. Awalnya semua berjalan cukup lancar, bahkan game yang kami kembangkan saat itu memenangkan penghargaan level regional.
Dari kesuksesan fana tersebut kami mulai mencoba membesar, dan hal tersebut bisa dibilang menjadi titik mula kesalahan. Kami mulai menjalankan dua proyek secara paralel dengan co-founder yang tadinya memegang urusan bisnis menjadi produsernya.
Selama menjalankan proyek kedua ini banyak masalah pengembangan terjadi, mulai dari progres yang sering berubah dari rencana awal, penundaan setiap kali ada revisi, produktivitas yang tidak stabil, dan lain-lain. Semua hal ini tentu saja membuang banyak waktu, dan karena kami jalan dengan tabungan sendiri dan belum memiliki pemasukan konstan, uang pun juga terbuang.
Semua semakin diperparah dengan fakta bahwa produk kami saat itu memang tidak terlalu bagus dan produser yang menaganinya tidak terima dan sering marah bila menerima komentar itu.
Dengan waktu dan uang yang semakin terbuang, serta moral tim yang terus menurun, saya mencoba untuk mendorong tim agar kerja lebih semangat, mengingat saat itu kami sedang bekerja sama dengan salah satu penerbit game lokal yang besar.
Segala masalah ini semakin diperparah ketika co-founder yang merangkap jadi produser mengatakan kalau ia mau mundur dari secara mendadak. Di hari-hari terakhir pun dia tidak datang ke kantor untuk proses hand over yang baik dan benar, hanya menghilang begitu saja.
Dengan hilangnya co-founder, otomatis tanggungan untuk gaji tim berada di tangan saya semua. Ditambah bulan depannya adalah waktu untuk membagikan THR dan co-founder yang baru cabut itu tidak mau ikut patungan membayarkan THR dan gaji.
Walhasil saya mulai “mengemis” untuk mendapatkan pemasukan, mulai dari mencari investor yang tidak berbuah hasil, sampai menjual aset-aset game yang telah dikerjakan. Pada akhirnya saya menjual game pertama kami ke satu pihak, dan uangnya digunakan untuk membayar satu bulan gaji dan separuh THR karyawan.
Sudah berusaha seperti itu kepada tim pun, anggota tim tidak mengapresiasi dan beberapa lama setelahnya saya baru tahu kalau mereka suka mengolok-olok saya di media sosial masing-masing. Cukup sakit juga rasanya dibegitukan.
Pada akhirnya seluruh studionya pun terpaksa saya bubarkan. Cukup disayangkan memang karena saya menganggap mereka semua sebagai teman, tapi tidak ada yang memahami dengan tenggang rasa kondisi perusahaan saat itu.
Akhirnya sekarang saya fokus ke sebagai pekerja lepas di bidang game demi melanjutkan hidup dan menafkahi anak dan istri. Jelas banyak sekali pelajaran yang saya ambil, termasuk tentang kelemahan-kelemahan saya yang perlu saya atasi.
Bayar kacang ya dapatnya monyet
Agak susah kalau disuruh cerita kapan studio saya berdiri, karena saat itu saya dan teman-teman kuliah hanya sekadar berpikir, “Hei, kita bikin game yuk,” dan baru mulai serius dengan gaji dan mentor pada tahun ketiga. Jadi dua tahun pertama kami bisa dibilang banyak main-mainnya.
Di dua tahun pertama itu kami terdiri dari empat orang pendiri, dengan kurang lebih empat game yang dirilis. Walaupun memang game pertama kami hanya menghasilkan sekitar Rp50.000 dalam setahun, hahaha.
Setelah kami serius, game yang dikembangkan cukup banyak, sekitar sepuluh game dalam setahun. Meskipun skala game yang berhasil dirilis kecil, tapi ya setidaknya kami merilis semuanya. Sumber pemasukan kami umumnya berasal dari IAP dan iklan dalam game, selain itu juga kadang kami mengikutkan game yang telah rilis ke lomba tertentu dan mendapatkan pemasukan dari hadiahnya.
Baru pada tahun keempat kami mulai mengerjakan proyek outsource sebagai sumber pemasukan. Sayangnya pada saat itu para co-founder sudah mulai meninggalkan tim. Ada yang melanjutkan studi ke luar negeri, ada yang bekerja ke perusahaan yang lebih besar, dan bahkan ada yang memang sudah lelah membuat game.
Di antara para co-founder yang lepas, ada satu yang paling mengejutkan saya. Jadi saat itu kami mengontrak sebuah rumah untuk dijadikan kantor, dan co-founder saya tersebut tinggal di sana. Seminggu atau dua minggu sebelumnya dia memang mengabarkan kalau akan pindah kerja ke Jakarta, tapi belum ada kepastian sama sekali.
Tiba-tiba saja suatu hari saya datang ke kantor dan tidak ada orang sama sekali di sana. Saya cek ke kamar pun barang-barang milik kawan saya masih di sana semua. Baru ketika cek SMS saya dikabari kalau secara mendadak dia harus ke Jakarta hari itu karena mendapatkan panggilan. Di SMS yang dikirimnya, ia mengatakan kalau akan kembali dalam beberapa hari.
Ditunggu beberapa minggu kawan saya tersebut tidak kunjung kembali. Ternyata setelah mendapatkan panggilan tersebut ia langsung memulai kerja di Jakarta beberapa hari setelahnya. Baru setelah empat atau lima bulan ia kembali untuk mengambil baju-bajunya yang ditinggal. Sewaktu kembali pun ia hanya membawa charger handphone dan baju yang ia kenakan, entah selama di Jakarta dia pakai apa, hahaha.
Dari situ tinggal tersisa saya dan beberapa karyawan yang direkrut untuk menggantikan para co-founder. Sayangnya tim yang baru ini kurang kuat, selama enam bulan saya hanya bakar duit saja tanpa game yang selesai dikerjakan. Anggota tim pun rata-rata tidak berkomitmen penuh, ada yang sambil kuliah, sambil kerja di startup lain, dan bahkan ada yang datang hanya di malam hari hanya untuk menonton YouTube di kantor.
Saat itu saya pun sibuk mengurus proyek kerja sama untuk menyambung hidup studio. Intinya sih manajemen cukup kacau karena saya tidak bisa fokus mengawasi mereka sambil menggarap proyek yang jadi pemasukan kantor. Rasanya seperti saya kerja hanya untuk membayar mereka tanpa hasil sama sekali. Bahasa kasarnya sih “bayar kacang ya dapatnya monyet”.
Karena duit sudah habis, ya saya terpaksa melepas mereka semua. Reaksi mereka cukup pasrah, karena memang saya menunjukkan pembukuan kantor, dan keuangan untuk bulan depan sudah merah semua. Saya hanya mengatakan kalau masih mau kerja bersama-sama, ya ayo kerja bareng menyelesaikan game yang dibuat, karena memang kantor tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Agak kasihan juga karena saat itu ada yang sedang kredit motor, tapi ya keuangan memang tidak memungkinkan perusahaan untuk terus membayar tanpa menghasilkan karya. Dari situ mulai menghilang dan tidak bermunculan lagi anggota timnya.
Ditambah lagi, pada bulan yang sama saya bertemu dengan orang tua pacar dan ditolak mentah-mentah karena satu dan lain hal. Sudah ditinggalkan tim, kehilangan pasangan pula.
Semenjak itu saya bekerja sendiri. Karena tidak ada pengeluaran ya lebih mudah untuk bertahan hidup. Pemasukan dari game hasil kerja sama sebelumnya pun masih ada, dan kadang juga dapat pemasukan dari diundang menjadi pembicara. Selain itu paling saya jadi pekerja lepas. Cukup susah untuk bikin game sendiri tanpa partner yang melengkapi kemampuan yang kita kurang.
Ada untungnya juga merasakan pengalaman mendirikan studio dengan tim, karena saya jadi tahu cara untuk mengatur duit dan mengencangkan ikat pinggang untuk berhemat. Sekarang pun saya sudah bisa menabung karena tanggung jawab pun hanya untuk diri sendiri.
Demikianlah bagian ketiga dari kumpulan sisi gelap industri game Indonesia. Tidak hanya membahas duka saja, kamu juga bisa menemukan kisah-kisah positif yang terjadi di industri game lokal di seri artikel Devstory.
Jika kamu juga memiliki kisah yang patut dibagikan juga, jangan ragu-ragu untuk menghubungi kami di ed@techinasia.com.
(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto)
The post Sisi Gelap Industri Game di Indonesia (Bagian 3) – Kisah-Kisah para Pendiri Studio appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Entrepreneur Life