skip to Main Content

Tantangan dan Peluang Startup Hukum di Indonesia pada Tahun 2018


Ikhtisar
  • Minimnya pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih menjadi tantangan besar yang dihadapi startup di bidang hukum.
  • Tantangan lainnya adalah sulitnya mencari pendanaan serta meyakinkan regulator sektor fintech tentang kualitas layanan mereka.
  • Startup Regtech dan Legaltech di tanah air diprediksi akan berkembang pesat tahun depan berkat institusi regulator yang kini mulai mengadopsi teknologi di bidang hukum.
  • Tahun 2018 juga diramalkan bakal menjadi momentum segar bagi startup hukum karena saat ini pemerintah tengah mendorong tingkat kemudahan membangun bisnis (ease of doing business).

Banyak pihak yang mengatakan bahwa 2017 merupakan tahun milik startup fintech. Namun sebenarnya, ada beberapa sektor lain yang juga turut menyita perhatian pengguna dan investor di tahun ini, salah satunya adalah startup yang bergerak di bidang hukum atau yang biasa dikenal dengan nama Regtech (Regulatory Technology) dan Legaltech. Dua perusahaan konsultan besar, Deloitte dan KPMG, bahkan sampai membuat laporan khusus tentang sektor tersebut.

Regtech dan Legaltech kerap dianggap sebagai ranah yang kurang begitu seksi. Namun dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat, terutama kalangan menengah atas, perkembangan industri ini pun akan terdorong ke arah yang lebih baik

Charya Rabindra Lukman,
CEO Lawble

Optimisme akan potensi startup Legaltech dan Regtech di tanah air ini kemudian mendorong Charya dan lima founder startup hukum lain untuk membentuk sebuah wadah khusus yang bernama Asosiasi Regtech dan Legaltech Indonesia (IRLA).

Asosiasi yang diresmikan pada tanggal 18 September 2017 yang lalu tersebut diharapkan bisa membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih sadar dan mengerti tentang hukum, hingga akhirnya menggunakan layanan dari para startup di bidang hukum.

Beberapa jenis startup hukum di tanah air

Di Indonesia sendiri telah ada beberapa jenis startup yang bergerak di bidang hukum. Kategori pertama adalah para startup yang berusaha menghadirkan informasi hukum, baik undang-undang maupun aturan lainnya, secara online. Contoh startup yang membuat layanan tersebut adalah Lawble, Eclis, hingga HukumOnline.

Selain itu, ada juga startup yang bisa menghadirkan jasa hukum secara online, mulai dari pembuatan dokumen, pengurusan izin, hingga pendirian perusahaan. Beberapa startup tanah air yang masuk kategori ini adalah PopLegal, LegalGo, Legalku, serta KontrakHukum. Situs HukumOnline bahkan telah ikut membuat layanan seperti ini, yang mereka beri nama EasyBiz.

Kemudian, ada pula startup yang bisa membantu proses verifikasi identitas digital, seperti PrivyID.

Bagaimana perkembangan para startup hukum di tahun 2017?

LegalGo | Tim

Rahmat Dwi Putranto, CEO LegalGo (atas kiri), bersama tim

Dua startup yang bergerak di bidang jasa hukum online, yaitu PopLegal dan LegalGo, mengaku bahwa di antara berbagai layanan yang mereka miliki, jasa pendirian perusahaan merupakan produk yang paling banyak diminati oleh pengguna.

Hampir 80 persen klien kami adalah startup dan UKM yang hendak mendirikan usaha

Rahmat Dwi Putranto,
CEO LegalGo

Adapun untuk startup identitas digital seperti PrivyID, mereka menyatakan bahwa layanan mereka kini telah digunakan oleh ratusan ribu pengguna.

Pengguna individu yang terverifikasi hampir menyentuh 700 ribu. Sedangkan untuk pengguna korporat terverifikasi, mencapai 59 badan hukum

Marshall Pribadi,
CEO PrivyID

Jumlah pengguna yang banyak ini cukup dipengaruhi oleh kerja sama yang dijalin PrivyID dengan beberapa perusahaan besar. Saat ini, mereka telah berhasil menjalin kerja sama dengan dua bank BUMN, dan tengah menjajaki kerja sama dengan dua bank swasta.

Strategi menjalin kerja sama dengan pihak lain untuk menarik lebih banyak pengguna juga dilakukan oleh PopLegal.

Sejauh ini, kami telah menjalin lima belas kemitraan dengan lembaga pemerintahan dan swasta

Dimas Prasojo,
CEO PopLegal

Rencana para startup hukum di tahun 2018

Untuk tahun 2018 mendatang, startup jasa hukum online seperti PopLegal dan LegalGo mengaku masih akan fokus untuk meningkatkan jumlah pengguna mereka.

LegalGo berencana melakukannya dengan cara membuat lima cabang di luar Jabodetabek dan satu cabang di luar negeri. Sedangkan PopLegal lebih ingin mengoptimalisasi layanan yang mereka miliki saat ini, serta meningkatkan anggaran untuk aktivitas pemasaran.

Marshall Pribadi PrivyID | Foto

Marshall Pribadi, CEO PrivyID

Adapun PrivyID, mereka mempunyai target pendapatan sebesar Rp25 miliar untuk tahun 2018 mendatang, serta target pengguna terverifikasi sebanyak 3 juta orang.

Dan untuk mencapai target tersebut, mereka berniat melakukan beberapa hal berikut:

  • Menghadirkan perangkat bernama PrivStation Mobile di tempat umum seperti pusat perbelanjaan. Perangkat tersebut nantinya akan dilengkapi dengan e-ktp reader, fingerprint scanner, serta 3D facial recognition, yang bisa digunakan untuk melakukan verifikasi identitas masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman saat berbelanja.
  • Mengedukasi lebih banyak pihak tentang cara kerja dan legalitas tanda tangan digital, seperti melakukan workshop untuk pengacara, staf hukum, notaris, jaksa, hakim, hingga para pegawai personalia.
  • Menjalin kerja sama dengan empat bank Buku IV, lima perusahaan sekuritas, tiga perusahaan asuransi, serta sepuluh perusahaan pembiayaan.

Pemahaman masyarakat yang rendah menjadi tantangan utama

Regtech | Photo

Demi bersama-sama meningkatkan kesadaran masyarakat akan hukum, beberapa startup Regtech dan Legaltech tanah air membentuk asosiasi IRLA

Beberapa startup hukum tanah air sepakat bahwa tantangan terbesar mereka untuk saat ini adalah pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang masih rendah.

Kami rasa ini masalah yang sudah cukup lama ada di Indonesia. Sebagian besar masyarakatnya belum melek hukum

Charya Rabindra Lukman,
CEO Lawble

Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka pun berusaha meningkatkan kuantitas pertemuan dengan masyarakat, seperti dengan mengadakan workshop atau hadir di pelatihan-pelatihan hukum.

Namun karena Indonesia merupakan negara yang besar, mereka sadar bahwa hal tersebut tentu membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan para startup hukum tersebut untuk mendirikan asosiasi bernama IRLA.

Beberapa startup di bidang hukum juga mengeluhkan sulitnya mencari pendanaan untuk startup mereka. Namun, untungnya, pada tahun 2017 ini kita melihat beberapa startup hukum yang berhasil mendapat pendanaan, seperti PrivyID dan HukumOnline.

PrivyID justru mengaku menghadapi tantangan ketika mereka berusaha meyakinkan regulator sektor fintech tentang kualitas layanan mereka. Hal ini penting bagi mereka karena ranah fintech jelas membutuhkan layanan verifikasi digital seperti yang saat ini disediakan oleh PrivyID.

“Mungkin karena investor kami didominasi oleh BUMN dalam negeri, maka ada stigma bahwa kami tidak lebih inovatif dan lincah dari pesaing kami,” jelas Marshall.

Untuk itu, Marshall pun berusaha untuk terus meyakinkan pihak-pihak tersebut dengan menunjukkan beberapa sertifikat yang telah mereka miliki. Dalam proses edukasi tersebut, ia pun mengaku terbantu dengan regulasi yang rinci tentang tanda tangan digital di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012.

Bagaimana masa depan startup hukum di tahun 2018?

Ilustrasi: Kecerdasan buatan

Menurut Charya, startup Regtech dan Legaltech di tanah air akan mengalami perkembangan yang pesat di tahun 2018. Hal ini didorong oleh institusi regulator di Indonesia yang kini mulai mengadopsi teknologi di bidang hukum.

“Pada tahun 2018, menurut saya akan ada pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang pada dasarnya dibuat untuk memudahkan masyarakat menyadari pentingnya pemahaman Hukum,” jelas Charya.

Hal ini pun diamini oleh Marshall, yang memprediksi startup dari bidang Regtech dan Legaltech akan sangat menjamur di tahun 2018.

“Layanan serupa PrivyID saja sudah mulai bermunculan di Asia Tenggara dan Indonesia. Begitupula dengan marketplace jasa hukum, pengurusan izin dan jasa pendirian badan hukum. Tools analisis peraturan perundang-undangan juga sudah bermunculan, contohnya Eclis dan Lawble,” ujar Marshall.

Beberapa startup hukum tersebut pun menyoroti kemungkinan penerapan teknologi blockchain.

PrivyID mengaku tengah mengembangkan layanan smart contract yang berbasis teknologi tersebut, yang akan diterapkan bagi pengguna di akhir 2018. Sedangkan layanan pembuatan dokumen hukum seperti PopLegal pun mengaku tengah mempertimbangkan implementasi blockchain dalam proses verifikasi keabsahan perjanjian antar pihak.

Namun menurut Rahmat dari LegalGo, implementasi teknologi baru seperti blockchain dan AI tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ia pun menyatakan bahwa startup jasa hukum online seperti yang ia dirikan masih akan terus bermunculan.

“Tren ke depan, para pemain Regtech dan Legaltech masih akan berusaha mendapatkan formula yang tepat untuk membangun produk teknologi yang pas untuk kebutuhan pasar. Tentunya, penggunaan deep technology sudah menjadi rancangan yang akan dilakukan oleh beberapa di antara mereka. Tinggal tunggu kapan peluncurannya saja,” ujar Rahmat.

Rahmat pun memprediksi bahwa tahun 2018 akan menjadi momentum segar bagi startup hukum karena saat ini pemerintah tengah mendorong tingkat kemudahan membangun bisnis (ease of doing business). Dengan begitu, ia pun berharap iklim investasi di bisnis startup hukum pun akan menjadi lebih baik.

(Diedit oleh Septa Mellina)

This post Tantangan dan Peluang Startup Hukum di Indonesia pada Tahun 2018 appeared first on Tech in Asia.

The post Tantangan dan Peluang Startup Hukum di Indonesia pada Tahun 2018 appeared first on Tech in Asia Indonesia.

Source: Inspirasi

Back To Top