Gandeng Tim Lokal untuk Ekspansi ke Luar Indonesia, Apakah Strategi GO-JEK Tepat?
Ikhtisar
- GO-JEK memutuskan merekrut tim-tim lokal untuk menjalankan layanannya di luar negeri, serta memberi kebebasan bagi masing-masing tim untuk menamai layanannya, meski berbeda dengan di Indonesia.
- Karena menggunakan nama yang berbeda, beberapa analis mengungkapkan kemungkinan GO-JEK kehilangan “gaung” di negara baru yang akan dimasuki, meski namanya telah cukup dikenal di dunia.
- Meski strategi ekspansi internasional ini memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri, sejumlah analis sepakat bahwa timing yang mereka ambil cukup tepat seiring kepergian Uber dari Asia Tenggara.
Pada 24 Mei 2018 lalu, GO-JEK resmi mengumumkan rencana mereka melakukan ekspansi ke empat negara di luar Indonesia, yaitu Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Mereka mengaku telah menyiapkan dana sebesar US$500 juta (sekitar Rp7 triliun) untuk melakukan ekspansi tersebut.
Dalam pengumuman resminya, GO-JEK menyatakan mereka hanya akan memberikan dukungan teknologi. Sedangkan operasional dari layanan transportasi online di negara-negara tersebut nantinya akan dikelola oleh tim lokal.
Akan menyerahkan kepada tim lokal di masing-masing negara untuk memilih nama apa yang akan digunakan.
Dalam sebuah wawancara, sang CEO Nadiem Makarim menyatakan bahwa pihaknya tidak akan menggunakan nama GO-JEK di negara-negara tersebut. Ia mengaku akan menyerahkan kepada tim lokal di masing-masing negara untuk memilih nama apa yang akan digunakan.
Pada 25 Juni 2018 lalu, pihak GO-JEK akhirnya mengumumkan bahwa layanannya di Vietnam akan menggunakan nama GO-VIET dan dipimpin oleh Nguyen Vu Duc. Sedangkan untuk operasional mereka di Thailand akan menggunakan nama Get dan dipimpin oleh Pinya Nittayakasetwat, mantan Head dari LINE Man (layanan serupa GO-FOOD milik aplikasi chat LINE).
Pertanyaannya, apakah strategi ekspansi dengan menggandeng mitra lokal dan menggunakan nama yang berbeda akan membuahkan hasil yang baik?
Untung rugi menggunakan tim lokal yang independen
Di empat negara yang akan mereka masuki tersebut, GO-JEK memang kalah cepat bila dibandingkan Grab yang telah terlebih dahulu beroperasi di sana. Namun menurut Mevira Munindra, Head of Indonesia dari lembaga riset IDC, hal itu bisa menjadi keuntungan tersendiri.
“Pasar Asia merupakan pasar yang unik dan dinamis. GO-JEK telah menghabiskan waktu untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk melakukan ekspansi ini.”
Namun karena menggunakan nama yang berbeda, beberapa analis mengungkapkan kemungkinan bahwa GO-JEK akan kehilangan “gaung” di negara baru yang akan dimasuki. Padahal, namanya telah cukup dikenal berkat kesuksesannya di Indonesia.
Di sisi lain, pemanfaatan tim lokal untuk menjalankan operasional GO-JEK di negara-negara tersebut juga menyimpan beberapa risiko. “Dengan bekerja sama dengan mitra lokal, GO-JEK bisa mengatasi kurangnya pengetahuan mereka di negara baru tersebut,” ujar Corrine Png, CEO dari perusahaan analis transportasi Crucial Perspective.
“Pendekatan ini bisa menjadi risiko apabila mitra lokal tersebut berniat untuk berdiri sendiri begitu mereka mendapat dukungan teknologi dan pengetahuan.”
Risiko lain yang bisa muncul dari penyerahan operasional kepada tim lokal adalah kemungkinan terjadinya kesalahan di negara-negara lain tersebut, yang bisa merusak brand GO-JEK.
Grab sendiri mulai membangun kemitraan dengan skema serupa untuk meluncurkan layanan penyewaan sepeda di Singapura. Namun baru-baru ini, mitra mereka yang bernama oBike justru memutuskan untuk menghentikan operasionalnya di negara tersebut dan mengalami masalah terkait pengembalian uang kepada pengguna.
Permasalahan yang dialami Grab ini mungkin bisa menjadi pelajaran bagi GO-JEK ketika mereka menjalin kemitraan strategis di negara-negara lain.
Pemilihan target pasar yang baik
Kepergian Uber membuat para pengguna di Filipina, Thailand, dan Vietnam, praktis hanya bisa tergantung dengan layanan Grab. Menurut Mevira, celah tersebut merupakan kesempatan yang bisa dimanfaatkan oleh GO-JEK.
“Hal ini tidak akan mudah. Akan sangat menantang bagi mereka untuk membawa berbagai layanan, mulai dari pengantaran makanan hingga pembayaran.”
Seperti Indonesia, Filipina dan Vietnam juga merupakan negara dengan ekonomi yang berkembang pesat, dengan masalah kemacetan yang cukup parah. Vietnam bahkan telah memiliki transportasi sepeda motor (semacam ojek), yang menjadi inti kekuatan GO-JEK.
“Bila ditambah fakta bahwa enam puluh persen penduduk dewasa di kedua negara tersebut tidak memiliki rekening bank, maka keduanya pun menjadi pasar yang ideal bagi GO-JEK,” ujar Png.
Menurut Png, layanan finansial di Thailand sebenarnya lebih maju dibanding Filipina dan Vietnam. Namun aktivitas ekonomi mereka terpusat di Bangkok, yang kemudian memicu urbanisasi penduduk dari daerah pedesaan yang kebanyakan belum bisa terlayani oleh bank.
Ini merupakan potensi yang bisa mendorong pertumbuhan layanan transportasi online mereka, serta layanan pembayaran GO-PAY.
Sedangkan Singapura merupakan target pasar yang unik. GO-JEK menyiratkan bahwa mereka tidak akan membawa layanan transportasi motor ke negara tersebut yang mempunyai aturan kendaraan ketat dan sistem transportasi umum yang baik.
Namun hadir di Singapura memiliki keuntungan tersendiri. “Meski daerahnya kecil, Singapura merupakan salah satu pusat ekonomi dunia. Hal ini bisa membuat GO-JEK lebih ‘terlihat’ oleh private equity dan pengelola dana investasi yang berkantor di sana,” kata Png. “Ini bisa membantu mereka ketika akan mencari pendanaan baru atau masuk bursa saham.”
(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)
This post Gandeng Tim Lokal untuk Ekspansi ke Luar Indonesia, Apakah Strategi GO-JEK Tepat? appeared first on Tech in Asia.
The post Gandeng Tim Lokal untuk Ekspansi ke Luar Indonesia, Apakah Strategi GO-JEK Tepat? appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Inspirasi