Pendapat OJK terkait Peluang dan Tantangan Fintech P2P Lending di Tanah Air
Pada acara rapat tahunan yang berlangsung di Bali pada bulan Oktober 2018 lalu, International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) meluncurkan beberapa kerangka aturan terkait bisnis teknologi finansial (fintech) bernama Bali Fintech Agenda.
Di dalamnya, terdapat dua belas poin yang perlu diperhatikan semua negara dalam mengembangkan fintech. Beberapa poin tersebut seperti memanfaatkan fintech untuk mendukung keuangan inklusif, memastikan fintech tidak mengganggu stabilitas sistem moneter, serta perlunya mengembangkan infrastruktur keuangan dan data yang kuat.
Menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK),Hendrikus Passagi aturan tersebut sebenarnya hanya pedoman untuk setiap negara dalam mengembangkan fintech. Setelah itu, regulator masing-masing negara diharapkan bisa menentukan aturan terbaik untuk negara mereka, karena permasalahan fintech di setiap negara bisa berbeda-beda.
Contohnya di Singapura, mungkin penduduknya hanya sedikit tapi mayoritas merupakan orang kaya. Sedangkan di Indonesia, penduduknya banyak, namun mereka tersebar di banyak pulau dan tidak sedikit yang mengalami kesulitan ekonomi.
Menurut Hendrikus, salah satu fokus OJK untuk mengembangkan fintech di tanah air adalah lewat bisnis pinjaman online, khususnya peer to peer (P2P) lending. Lalu bagaimana cara OJK memproses isi dari Bali Fintech Agenda tersebut?
Langkah OJK untuk mengembangkan fintech di tanah air
Sejak akhir tahun 2016 lalu, OJK telah merilis aturan nomor 77/POJK.01/2016 terkait startup P2P lending, yang isinya mengatur tentang tata cara pendaftaran dan pengajuan izin.
Setelah itu, mereka pun kembali merilis aturan baru nomor 13/POJK.02/2018 terkait bisnis fintech. Dalam aturan tersebut, OJK mengundang para startup fintech dengan inovasi bisnis baru yang belum diatur oleh regulasi yang ada saat ini, untuk mengikuti regulatory sandbox.
OJK bahkan telah mendirikan sebuah pusat inovasi bernama OJK Innovation Centre for Digital Financial Technology (OJK Infinity). Para pelaku fintech yang ingin berkonsultasi dapat menghubungi pusat inovasi tersebut untuk bertemu.
Selain itu, Hendrikus menyatakan bahwa mereka secara rutin terus melakukan acara Fintech Days di berbagai kota, mulai dari Manado, Medan, Batam, hingga Bali. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan berbagai layanan fintech, khususnya P2P lending, kepada masyarakat.
Saat ini, inklusi keuangan di Indonesia telah mencapai 49 persen. Kami berharap angka tersebut bisa naik menjadi 75 persen pada tahun 2019 nanti.
Perkembangan fintech P2P lending di tanah air
Berikut ini adalah data perkembangan startup P2P lending di tanah air hingga bulan September 2018.
Jumlah pemain
- Terdaftar: 73 perusahaan
- Dalam proses pendaftaran: 47 perusahaan
- Sudah mendaftar tapi permohonannya dikembalikan: 59 perusahaan
- Berminat mendaftar: 38 perusahaan
Jumlah peminjam
- Jawa: 1.968.688 rekening
- Luar Jawa: 331.319 rekening
- Total: 2.300.007 rekening
Jumlah pemberi pinjaman
- Jawa: 120.579 rekening
- Luar Jawa: 38.866 rekening
- Luar Negeri: 1.852 rekening
- Total: 161.297 rekening
Total pinjaman
- Jawa: Rp11,57 triliun
- Luar Jawa: Rp2,26 triliun
- Total: Rp13,83 triliun
Rasio Kredit Bermasalah (NPL): 1,2 persen
Hambatan dan peluang bisnis P2P lending di Indonesia
Saat ini, startup P2P lending yang telah terdaftar memang baru berjumlah 73 perusahaan. Namun bila memperhitungkan para startup yang sudah, akan, atau sedang dalam proses pendaftaran, maka angka tersebut bisa naik menjadi 217 perusahaan.
Menurut Hendrikus, para startup baru tersebut masih memiliki kesempatan. Hal ini dikarenakan para pemain yang ada saat ini belum bisa memenuhi peluang pembiayaan sebesar Rp988 triliun untuk para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Meski begitu, tantangan yang dihadapi juga cukup besar.
“Dengan banyaknya pemain, potensi risiko jelas akan makin besar. Ini tentu menjadi tantangan kita bersama, baik asosiasi maupun regulator,” tutur Hendrikus.
Terkait startup yang kini tengah dalam proses pengajuan, Hendrikus pun menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah menghambat proses tersebut. Terhambatnya proses pendaftaran biasanya dikarenakan data yang tidak lengkap atau berisi informasi yang salah.
Contohnya yaitu ketika ada startup yang mengajukan data lengkap, tapi ternyata sang founder merupakan warga negara asing, dan hanya bisa memberikan paspor turis. Menghadapi kasus seperti ini, OJK memutuskan untuk mengembalikan berkas mereka, sehingga menyebabkan proses pendaftaran menjadi lebih lama.
(Diedit oleh Fairuz Rana Ulfah)
This post Pendapat OJK terkait Peluang dan Tantangan Fintech P2P Lending di Tanah Air appeared first on Tech in Asia.
The post Pendapat OJK terkait Peluang dan Tantangan Fintech P2P Lending di Tanah Air appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: Inspirasi