Pentingnya Kultur di Universitas
Pada intinya universitas adalah tempat untuk meningkatkan kompetensi seseorang baik berupa soft competence ataupun hard competence. Jadi, bukan sekedar tempat kursus atau pelatihan. adalah wajar bila banyak orang percaya bahwa universitas bisa memberikan bekal yang diperlukan bagi masa depan seseorang. Kepercayaan inilah yang harus dipegang oleh para dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan unit-unit universitas. Artinya, mereka tidak boleh menyianyiakan para mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan di universitas. Ini adalah amanah besar yang harus secara ikhlas dijalankan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Sebagai konsekuensi logis dari keinginan memberikan yang terbaik kepada mahasiswa, perlu penanganan total dalam menjalankan roda universitas. Campuran antara profesionalisme, kemanusiaan, kekeluargaan, pendidikan, pelatihan dan pengkaderan. Semua ini harus dipahami dan dijalankan oleh para dosen, karyawan, dan para pemegang unit-unit struktural level universitas sampai unit terkecil di program studi. Semua itu dapat menjadi komponen ekosistem universitas yang berpengaruh langsung (direct) dan tidak langsung (indirect) kepada mahasiswa. Untuk mengisi ekosistem pendidikan di universitas, setidaknya harus didekati melalui kultur, struktur, prosedur, dan tool (alat). Keempat unsur itu harus saling mengisi dan melengkapi layaknya komponen sistem terintegrasi dan holistik. Kultur lebih bersifat lunak (soft), adapun struktur, prosedur, dan tool lebih keras (hard).
Karena sifatnya, kultur yang relatif lunak, cukup sulit untuk dijalankan dan diukur keberhasilannya melalui ukuran-ukuran kuantitatif. Akan tetapi, kultur sangat penting dan bisa menginspirasi serta memayungi komponen keras. Selain itu, bila pendekatan kultural sudah berhasil merasuk ke dalam jiwa individu, maka akan menjadi perilaku yang berdurasi panjang. Bahkan bisa selama-lamanya. Untuk itu, introduksi melalui kultur ini sangat penting dalam pendidikan di universitas. Tidak bisa dianggap mudah, serta tidak boleh dianggap enteng.
Biasanya para dosen dan karyawan kurang menyadari komponen kultur ini. Sehingga sering terabaikan. Sehingga hubungan dosen dengan mahasiswa cenderung profesional, atau bahkan transaksional. Prosesnya terlalu berbentuk reward and punishment, cambuk dan hadiah. Pendekatan ini kurang menguntungkan para mahasiswa dalam proses pembentukan karakternya. Padahal, untuk jiwa yang tangguh (tough), mempunyai tujuan (purpose), dan mencintai kegiatan atau pekerjaan (passion) harus didekati secara kultural. Adapun turunannya ada reward itu bagian dari dampak logis saja. Jadi bukan tujuan utama.
Pendekatan transaksional sulit menjamin seseorang dapat bertahan lama dan fokus menjalankan idenya menjadi realita. Padahal, perilaku inilah yang sangat diperlukan dalam kewirausahaan (entrepreneurship). Bila memang universitas berkeinginan untuk membangun calon entrepreneur, maka pendekatan kultural menjadi kunci utama keberhasilan. Karena sifat-sifat entrepreneur ini lebih banyak soft-competence daripada hard-competence. Soft-competence inilah yang akan mendorong seseorang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan untuk menjalani kehidupannya. Dalam perkataan lain, soft-competence itulah yang menstimulir mahasiswa ingin menguasai hard-competence. Selain itu, soft-competence yang bisa memperindah hard-competence. Itulah bedanya tempat kursus dan universitas. Dimana tempat kursus lebih berbobotkan pada hard-competence.
Pendekatan kultural inilah yang bisa memotivasi mahasiswa untuk bekerja keras, berkreasi, berimajinasi, berpikir jauh ke depan, dan berinovasi. Untuk itu, universitas harus menyuasanakan berkembangnya kultur riset dan wirausaha mahasiswa. Para dosen dan pimpinan unit-unit mengusahakan sedemikian rupa agar kebiasaan riset dan wirausaha mahasiswa dapat tumbuh dan berkembang. Misalnya dengan mengajak mereka untuk membahas ide-ide riset dan tidak mudah menyalahkan gagasan apapun yang datang dari mahasiswa. Lalu, ide ini tidak berhenti di aspek riset, tetapi bagaimana upaya kelanjutannya sehingga dapat diaplikasikan menjadi solusi. Banyak persoalan yang saat ini sangat memerlukan solusi kreatif yang perlu didiskusikan. Misalnya dalam persoalan energi, pangan, pakan ternak, transportasi, lalu lintas, optimasi sumberdaya alam, dan banyak lagi. Semua itu memerlukan pendekatan lunak (kultur), selain kurikulum di pendidikan tinggi. Membahas isu-isu itu sulit diserahkan sepenuhnya pada kurikulum. Apalagi bila hubungan dosen-mahasiswa terlalu berbasis pada pola transaksional, kontraktual, atau profesional.
Sebenarnya aspek struktur, prosedur, dan tool (alat), relatif mudah. Akan tetapi, tidak jarang beberapa universitas yang punya ketiga komponen itu hanya sekedar dokumen. Terutama di aspek prosedur. Bila prosedur hanya sekedar formalitas, maka proses organisasi berjalan secara business as usual, tidak sistematis, dan tidak terukur. Bila sekedar jalan, hal ini bisa saja, akan tetapi akan terjadi inefisiensi, tidak cepat, tidak tepat, atau bahkan merugikan.
Universitas yang kulturnya lemah, tetapi ingin dikatakan baik dan profesional, pada umumnya akan mempercantik di struktur, prosedur, dan tool. Maka, biasanya strukturnya baik. Dokumen prosedurnya tersedia, serta perangkat fasilitasnya lumayan ada. Sehingga sering universitas itu ingin mendapatkan sertifikat ISO. Ini memang penting, tetapi tidak cukup. Nessecary but not sufficient. Selain itu, tanpa memahami esensi kultur universitas, sertifikasi manajemen itu sering hanya sekedar rumbai. Ada tapi tidak ada.
Bila kultur teratur itu tidak ada, maka sertifikat ISO hanya sekedar pajangan untuk menaikkan kelas saja. Sebagai warga orang cerdas, tidak sulit bagi kampus untuk memperoleh sertifikat ISO. Semua itu bisa disiapkan dengan berbagai cara, seperti pelatihan, lokakarya, studi banding, dan penyusunan dokumen-dokumen prosedur. Akan tetapi, tanpa penyadaran akan pentingnya kultur yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan sehari-hari, niscaya ISO itu hanya berjalan sebentar. Lalu, para dosen dan karyawan kembali ke business as usual. Asal jalan.
Memang ada beberapa tools dan prosedur yang harus ada untuk menjalankan kultur. Misalnya untuk kultur hemat energi, selain himbauan untuk tidak sering menggunakan lift, perlu prosedur, teknologi, dan alat (tool) operasionalnya. Misalnya, prosedurnya, sivitas harus menggunakan tangga bila naik hanya satu lantai. Adapun tool-nya, lift tidak akan berhenti bila seseorang naik hanya untuk satu lantai. Teknologi ini, bukan sesuatu yang sulit bagi ahlinya. Tinggal upaya penerapannya. Banyak kasus lainnya yang menyatukan antara kultur, struktur, prosedur, dan tool.
Dalam proses pendidikan, mahasiswa sebagai unsur sivitas akademika dapat dilibatkan dalam upaya menginntegrasikan empat komponen di organisasi universitas. Sehingga jiwa kerjasama, kebiasaan efisien, efektif, bersih, teratur, hemat, dan disiplin itu terbangun selama mereka di kampus. Dalam hal mempelajari stuktur, prosedur, dan tool, mereka bisa belajar menerapkannya di organisasi mahasiswa. Tentu pada tahap awal mereka harus menyadari dan menguasai filosofi (hakikat, makna) organisasi. Pertanyaan di sekitar mengapa, apa, dan bagaimana organisasi itu harus biasa mereka bahas. Tanpa penguasaan hakekat itu, mereka akan terjebak teknis prosedur yang mekanistis, teknikal, dan kering. Kurang bermakna, tidak mempunyai nilai (values) yang mendasar. Untuk hal ini pun tentu mereka harus belajar. Di sini juga ada peran dosen, agar para mahasiswa tidak terlalu lama mempelajarinya.
Perilaku-perilaku soft-competence ini tentu bisa mereka terapkan sambil memperkuat hard-competence. Itulah universitas, bukan sekedar tempat mentransfer ilmu tanpa kekuatan karakter. Artinya, tanpa kekuatan kultur, maka universitas hanya akan menjadi tempat kursus dan pelatihan. Hal ini kurang baik bagi karakter mahasiswa. Dalam hal ini kampus-kampus di Indonesia sering tertinggal dibandingkan dengan kampus di negara maju. Kita harus menyadarinya, agar bisa memperbaikinya. Insya Allah kita bisa.
Asep Saefuddin
(Rektor Universitas Al Azhar Indonesia/Guru Besar Statistika FMIPA IPB)
Source: Berita Kampus