Professor Shambaugh: AS, China, Indonesia, dan ‘Jebakan Ekonomi’
Perkembangan kontemporer Asia perlu dicermati oleh negara-negara di kawasan. Indonesia tak terkecuali. Munculnya Tiongkok sebagai aktor ekonomi-politik besar telah menjadikan kawasan ini layaknya ladang pertarungan pengaruh. Secara lebih spesifik, sebuah rivalitas pengaruh antara sang negara tirai bambu dan negara adidaya Amerika Serikat (AS).
Lebih jauh, negara-negara di kawasan Asia disarankan bersikap hati-hati dalam menghadapi strategi ‘kebergantungan ekonomi’ (economic dependency) yang dilancarkan Tiongkok. Mengingat hal ini – sebagaimana akan atau sudah terjadi terhadap Kamboja dan Laos – berpotensi menciptakan ‘jebakan ekonomi’ (economic trap).
Demikianlah salah satu benang merah dari studium generale (kuliah umum) pada 3 Mei 2017 di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) yang bertajuk “Macro Trends in Asian International Relations”. Tampil sebagai pembicara adalah Professor David Shambaugh, pakar hubungan internasional dan khususnya kebijakan luar negeri Tiongkok dari George Washington University (GWU), AS.
Macro Trends
Dalam kuliah yang dimoderatori Mokhamad Luthfi, MSi, Sekretaris Prohi HI UAI ini, Prof. Shambaugh menyatakan setidaknya ada empat kecenderungan besar (macro trends) di kawasan Asia: (1) pengaruh Tiongkok; (2) pengaruh AS; (3) rivalitas pengaruh antara AS dan Tiongkok; dan (4) pengaruh negara-negara berkekuatan menengah (middle powers).
Terkait pengaruh Tiongkok di Asia, Prof. Shambaugh menyoroti strategi ‘economic dependency’ yang selama ini dijalankan Tiongkok. Dalam kacamata intelektual yang sudah menghasilkan lebih dari 30 buku mengenai Tiongkok ini, beberapa negara di Asia sudah diindikasikan masuk dalam jebakan ekonomi (economic trap). Negara-negara tersebut, diantaranya, adalah Laos dan Kamboja. Karena jebakan ekonomi ini, negara-negara tersebut telah didominasi dan cenderung mengikuti apapun kemauan Tiongkok.
Situasi economic trap ini tidak saja berpengaruh secara bilateral. Organisasi regional pun turut terpengaruh. Organisasi ASEAN, yang merupakan penjuru kebijakan luar negeri Indonesia, sudah terimbas pengaruh Tiongkok. Fenomena ASEAN tidak dapat mencapai konsensus, khususnya jika menyangkut isu Tiongkok atau Laut China Selatan, merupakan indikasi jelas adanya pengaruh Tiongkok di dalam organisasi yang tahun ini mencapai usia setengah abad.
Terkait pengaruh AS di Asia, Prof Shambaugh berpandangan bahwa sang paman sam selama ini berusaha mempengaruhi persepsi para elite. Karena dalam hubungan internasional persepsi memainkan peranan penting. Lebih jauh, AS juga berupaya untuk tetap menjaga kehadiran di Asia dengan tujuan untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok.
Rivalitas pengaruh antara AS dan Tiongkok merupakan macro trend yang sangat nyata di Asia. Jika pada dekade 1990an AS adalah aktor dominan di Asia dan belahan dunia lainnya, munculnya Tiongkok sebagai pemain besar di Asia dalam satu dekade terakhir telah menjadikan benua ini sebagai ladang penyemaian pengaruh. Situasi menjadi lebih kompleks jika diimbuhi dengan isu Korea Utara yang terus-menerus melakukan unjuk gigi (deterrence) melalui uji coba nuklirnya.
Terkait negara-negara middle powers di Asia, Prof Shambaugh yang kini mengabdi di Elliott School of International Affairs, GWU, itu berpandangan bahwa mereka adalah India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Indonesia. Namun demikian, peran dan pengaruh negara-negara tersebut di Asia masih di bawah bayang-bayang AS dan Tiongkok dan lebih khusus lagi rivalitas antara keduanya.
Kuliah umum yang dihadiri oleh mahasiswa, dosen Hubungan Internasional UAI dan beberapa kampus lain di Jakarta, terselenggara atas kerjasama Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UAI dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Dalam kunjungannya ke Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. David Shambaugh juga menyempatkan diri untuk berkenalan dan berbincang dengan Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Ahmad H. Lubis.